philosophizeUS

Inside Out: Kesedihan-Suatu Permasalahan atau Bagian dari Kehidupan?

Photo by Tengyart on Unsplash

Sebuah Introduksi:

Dalam artikel singkat ini, Kita akan menyelami pembahasan menarik tentang film animasi Inside Out dan bagaimana filsafat dapat memberikan wawasan baru tentang emosi, khususnya kesedihan. Pertanyaan mendasar yang akan kita eksplorasi adalah: Apakah kesedihan adalah suatu permasalahan atau bagian alami dari kehidupan kita? Sebelum kita menyelami detail film Inside Out, mari kita bahas sedikit tentang konsep emosi itu sendiri. Kebudayaan kita sering kali memperlakukan emosi dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa emosi dianggap positif, seperti kebahagiaan, sementara yang lain, seperti kesedihan, sering dianggap negatif. Namun, apakah kesedihan itu sendiri merupakan masalah, atau hanya reaksi alami terhadap pengalaman hidup? Kesedihan sering kali dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari. Dalam banyak budaya, terutama bagi pria, menangis sering dianggap sebagai tanda kelemahan. Menangis bisa dianggap memalukan, dan sering kali, pria yang menangis disebut cengeng atau rapuh. Tetapi, mari kita lihat lebih dalam: apakah kesedihan itu memang suatu cacat, atau hanya bagian dari spektrum emosi manusia yang alami?

Film Inside Out: Melukiskan 'gerak' emosi

Pada tahun 1917, Sigmund Freud menerbitkan penelitiannya yang menunjukkan adanya hubungan antara kesedihan dan penderitaan. Menurut Freud, ketika kita kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita cintai, kita mengalami kesedihan. Ini adalah reaksi alami yang timbul dari ikatan emosional yang telah kita bangun. Dalam penelitiannya, Freud menyatakan bahwa kesedihan adalah proses yang perlu dilalui untuk mencapai pemulihan emosional. Namun, kesedihan sering kali dikaitkan dengan masalah. Ketika seorang teman mengatakan “saya sedih”, respons kita biasanya adalah “ada masalah apa?”. Kesedihan sering dilihat sebagai akibat dari suatu masalah, bukan sebagai reaksi alami terhadap kehilangan atau perubahan. Dalam filsafat Yunani kuno, kesedihan dianggap sebagai akibat dari ketidakseimbangan cairan tubuh. Pada masa itu, ada keyakinan bahwa tubuh manusia terdiri dari empat cairan dasar: darah, dahak, empedu kuning, dan empedu hitam. Ketidakseimbangan cairan ini dianggap sebagai penyebab berbagai emosi dan kondisi kesehatan, termasuk kesedihan.

Inside Out adalah film animasi produksi Disney Pixar yang dirilis pada tahun 2015. Film ini menawarkan perspektif unik tentang cara kerja otak dan emosi melalui personifikasi berbagai emosi dalam diri seorang gadis bernama Riley. Dalam film ini, lima emosi utama digambarkan sebagai karakter yang mengendalikan perilaku Riley: Joy (senang), Sadness (sedih), Fear (takut), Disgust (jijik), dan Anger (marah). Film ini menarik karena menggambarkan Joy sebagai tokoh utama yang berusaha untuk selalu memegang kendali dan menjaga kebahagiaan Riley. Joy berusaha mencegah emosi lainnya, terutama Sadness, untuk mengambil peran dalam kehidupan Riley. Ini mencerminkan bagaimana masyarakat kita sering kali mengagungkan kebahagiaan dan menghindari kesedihan. Namun, film ini menunjukkan bahwa ketika Joy berusaha mengendalikan semuanya dan menekan emosi lain, hidup Riley justru menjadi kacau. Ketika Joy dan Sadness tersedot keluar dari ruang kendali, mereka harus berusaha kembali sambil menjelajahi berbagai aspek dari pikiran Riley. Ini menggambarkan bahwa ketika kita mencoba menekan emosi tertentu, justru dapat menyebabkan kekacauan dalam diri kita.

Filsafat Stoa: Mengelola Emosi

Filsafat Stoa, atau filsafat teras, dari Yunani kuno memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana mengelola emosi negatif. Henry Manampiring dalam bukunya “Filsafat Teras” berbagi pengalaman pribadinya tentang bagaimana filsafat ini membantunya mengatasi depresi. Menurut Henry, filsafat Stoa mengajarkan bahwa ada hal-hal yang tidak dapat kita kontrol, seperti apa yang orang lain katakan atau kondisi ekonomi global. Namun, ada hal-hal yang bisa kita kontrol, yaitu persepsi kita terhadap situasi tersebut. Emosi negatif seperti takut, iri, atau kepahitan bukanlah hasil dari irasionalitas, tetapi dari persepsi yang salah. Epictetus, seorang filsuf Stoa, membagi dunia menjadi dua kategori: yang dapat kita kontrol dan yang tidak dapat kita kontrol. Persepsi kita terhadap suatu hal menentukan emosi yang kita rasakan. Dengan mengontrol persepsi, kita dapat mengelola emosi kita.

Film Inside Out menunjukkan bahwa semua emosi, termasuk kesedihan, memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Ketika Riley akhirnya menerima kesedihan dan membiarkan dirinya menangis, ia mengalami kelegaan dan hubungannya dengan orang tuanya menjadi lebih kuat. Ini menunjukkan bahwa menerima dan mengekspresikan emosi adalah bagian penting dari kemanusiaan. Filsafat Stoa mengajarkan kita untuk mengelola cara kita berpikir dan memersepsi dunia, sementara Inside Out menekankan pentingnya semua emosi dalam kehidupan kita. Kedua perspektif ini menunjukkan bahwa emosi, baik positif maupun negatif, memiliki tempat yang penting dalam kehidupan manusia.

Menariknya, Inside Out menambahkan dimensi baru dalam memahami emosi. Film ini mengajarkan kita bahwa emosi selain kebahagiaan juga penting. Ketika semua emosi bekerja sama, Riley justru mengalami kelegaan. Puncak emosinya terjadi ketika Riley melawan orang tuanya dan melarikan diri dari rumah. Ketika akhirnya Riley menangis dan membiarkan kesedihannya keluar, dia menemukan kedamaian dan kelegaan. Dalam adegan ini, kita melihat bagaimana Sadness memainkan peran penting dalam membantu Riley menyadari bahwa menerima kesedihan adalah bagian dari proses penyembuhan. Kesedihan membawa Riley kembali kepada orang tuanya, menciptakan momen kedekatan yang mendalam.

Keseimbangan: Emosi dan Kebajikan (Virtue)

Selain filsafat Stoa, ada juga pandangan lain yang relevan dalam memahami emosi manusia. Aristoteles, filsuf Yunani kuno lainnya, mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang kesenangan atau pleasure, tetapi tentang hidup yang selaras dengan kebajikan (virtue). Etika kebajikan Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan sejati datang dari hidup yang seimbang dan selaras dengan nilai-nilai moral seperti keadilan. Bahkan Kierkegaard, seorang filsuf Eksistensialisme, memandang kecemasan bukan sebagai sesuatu yang harus dihindari, melainkan sebagai kondisi yang esensial bagi pertumbuhan spiritual dan pencapaian kebebasan sejati. Dalam karyanya “The Concept of Anxiety“, ia menggambarkan kecemasan sebagai “rasa pusing akan kebebasan” – perasaan yang muncul ketika kita menghadapi berbagai kemungkinan dalam hidup dan tanggung jawab atas pilihan-pilihan kita.

Pada masa Pencerahan, terdapat penekanan yang berlebihan terhadap akal budi, sehingga kita cenderung menutup mata terhadap aspek emosi yang memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Emosi bukan hanya sekadar menambahkan rasa, tetapi juga memberikan dimensi lain yang sangat berarti dalam memahami manusia secara utuh. Romantisisme, sebagai respons terhadap dominasi rasionalitas Pencerahan, mengingatkan kita akan pentingnya kepekaan terhadap aspek emosional yang sering diabaikan. Dengan menghargai perasaan dan intuisi, Romantisisme menegaskan bahwa kehidupan manusia tidak hanya dibentuk oleh logika dan pemikiran rasional semata, tetapi juga oleh pengalaman emosional yang kaya dan beragam. Dalam konteks ini, emosi seperti kemarahan dan ketakutan memiliki peran penting. Kemarahan, misalnya, bisa menjadi respons alami terhadap ketidakadilan. Rasa takut mencegah kita dari bahaya, dan rasa jijik melindungi kita dari hal-hal yang berbahaya seperti benda-benda yang mungkin dapat meracuni kita. Emosi-emosi ini, meskipun sering dianggap negatif, sebenarnya memiliki fungsi penting dalam kehidupan manusia.

Kesimpulan

Jadi, apa yang didapatkan dari pembahasan tentang Inside Out dan filsafat Stoa?

Pertama, penting untuk menyadari bahwa semua emosi, termasuk kesedihan, memiliki peran yang penting dalam kehidupan kita. Kesedihan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi bagian dari proses alami dalam menghadapi kehilangan dan perubahan.

Kedua, filsafat Stoa mengajarkan kita untuk mengelola cara kita berpikir dan mempersepsi dunia. Dengan mengontrol persepsi kita, kita dapat mengelola emosi negatif dan menemukan keseimbangan dalam hidup.

Terakhir, Inside Out memberikan gambaran yang indah tentang bagaimana semua emosi berkontribusi pada kemanusiaan kita. Film ini mengajarkan kita bahwa menerima dan mengekspresikan emosi adalah bagian penting dari hidup yang sehat dan seimbang.

Refleksi Filosofis

Dalam merangkul seluruh spektrum emosi kita, kita memulai perjalanan menuju kesadaran diri yang sejati dan harmoni batin. Setiap emosi, baik kebahagiaan maupun kesedihan, amarah maupun ketenangan, adalah benang-benang yang menenun jalinan kehidupan kita. Dengan mengakui dan menerima keragaman perasaan ini, kita belajar menavigasi kompleksitas pengalaman dengan kebijaksanaan dan ketahanan yang lebih dalam. Keseimbangan emosi bukanlah tentang menekan atau menyangkal perasaan tertentu, melainkan tentang mengintegrasikannya ke dalam satu kesatuan yang memperkaya pemahaman kita tentang diri sendiri dan dunia di sekitar kita.

Untuk mencapai keseimbangan emosi, diperlukan upaya sadar untuk hadir dalam setiap emosi yang kita rasakan, merefleksikan asal-usul dan dampaknya, serta menumbuhkan sikap penuh kasih terhadap diri sendiri. Dalam proses ini, kita juga belajar untuk memeluk kerapuhan diri, menyadari bahwa dalam penerimaan itulah terletak kekuatan sejati. Pendekatan holistik ini memungkinkan kita merespons tantangan hidup dengan anggun dan tenang, membina hubungan yang lebih sehat dan kehidupan yang lebih bermakna. Dengan merangkul semua aspek dari lanskap emosi kita, kita menciptakan fondasi untuk penerimaan diri yang sejati dan kedamaian batin, yang pada akhirnya mengarah pada keberadaan yang lebih seimbang dan kaya.

Sumber:

Bagi yang tertarik dengan artikel ini dalam bahasa Inggris, silahkan akses tulisan di bawah ini:

Inside Out: Is Sadness a Challenge or a Vital Part of Life? A Movie Analysis

This article delves into Inside Out and the philosophy of sadness, questioning whether it’s a problem or a vital part of life. From Freud’s insights on loss to ancient Greek ideas of imbalance, it challenges cultural biases and redefines sadness as an essential human experience.

Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

My Social Media: