Sebuah Introduksi:
Postmodernisasi, yang menandai peralihan dari modernitas ke postmodernitas, tidak dapat dipisahkan dari dampak revolusi digital. Internet, dengan kekuatan konektivitasnya yang luar biasa, telah menciptakan jaringan pengetahuan dan komunikasi yang rumit. Melalui globalisasi digital, berbagai negara menjadi semakin terhubung, menghancurkan batas-batas politik, ekonomi, dan budaya. Kemajuan teknologi mobile—seperti smartphone, tablet, dan e-reader—serta platform berbasis internet seperti media sosial telah menjadi katalis yang mempercepat transformasi budaya. Pengaruh teknologi ini sangat mendalam, meresap ke dalam setiap aspek kehidupan manusia. Akibatnya, teknologi digital semakin menjadi fokus kajian filosofis. Istilah homo digitalis muncul, menggambarkan perubahan budaya yang signifikan akibat perkembangan ini.
Ada berbagai perspektif tentang penggunaan dan dampak teknologi digital dalam kehidupan kontemporer. Munculnya Nomophobia (No-mobile-phone phobia), yaitu ketakutan akan terpisah dari smartphone, menunjukkan seberapa besar pengaruh teknologi digital terhadap hubungan antar manusia. Mantra seperti “Semakin banyak kita terhubung, semakin baik” tampaknya tidak sepenuhnya benar. Sama seperti fokus modernis pada kemajuan yang dikritik oleh para filsuf seperti dari Mazhab Frankfurt, keterhubungan virtual justru secara paradoks dapat menyebabkan keterasingan sosial. Sebagai contoh, jumlah "teman" di profil Facebook tidak menjamin hubungan yang mendalam atau bermakna.
Di sisi lain, kontribusi positif teknologi digital terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat tidak dapat disangkal. Namun, terlepas dari manfaat atau kekurangannya, teknologi digital tidaklah netral dalam interaksinya dengan pengguna. Ketika manusia berinteraksi dengan teknologi, hal itu secara tidak langsung membentuk dan memengaruhi mereka kembali. Dalam budaya postmodern, dampak teknologi digital yang luas dan mendalam terhadap kehidupan sehari-hari semakin nyata.
Artikel ini tidak bertujuan untuk secara sistematis membahas keseluruhan filsafat postmodern, tetapi lebih berfokus pada analisis budaya postmodern dalam konteks kehidupan budaya digital. Pembahasan akan dibagi menjadi tiga bagian: pertama, eksplorasi realitas baru yang muncul dari revolusi digital; kedua, pemeriksaan teori-teori budaya postmodern utama yang berhubungan dengan budaya digital; dan ketiga, analisis konsep kebenaran di era digital. Artikel ini akan ditutup dengan rangkuman reflektif dan kritis dari bagian ketiga.
A. Realitas dalam Budaya Digital
Dalam bukunya Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, Don Ihde menekankan bahwa manusia tidak dapat hidup dalam “taman” yang bebas dari teknologi, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang terkait dengan teknologi. Seperti Heidegger, Ihde tidak memandang teknologi hanya sebagai penerapan ilmu pengetahuan. Dari sudut pandang ontologis, Heidegger melihat bahwa teknologi secara mendasar mendahului ilmu pengetahuan. Keberadaan manusia bersifat aktif—yaitu sebagai being-in-the-world. Teknologi berfungsi sebagai metode khusus untuk mengungkap dan mengubah realitas, mengalihkannya dari keadaan tersembunyi menjadi terbuka. Bagi Ihde, teknologi dan ilmu pengetahuan berasal dari sumber yang berbeda dan berkembang secara unik. Ia berpendapat bahwa teknologi bertindak sebagai mediator antara manusia dan dunianya, yang pada gilirannya mengubah cara manusia mengalami dunia tersebut. Di saat yang sama, budaya juga berubah melalui penerapan teknologi. Ihde mengidentifikasi berbagai jenis hubungan manusia-teknologi, seperti embodiment relations, hermeneutic relations, alterity relations, dan background relations. Dalam semua bentuk ini, penggunaan teknologi memodifikasi persepsi manusia. Sebagai contoh, penglihatan berubah saat seseorang menggunakan teleskop: objek jauh yang buram menjadi lebih jelas (amplification), tetapi sekaligus bidang pandang menjadi terbatas (reduction). Kesalahan epistemik dapat muncul ketika apa yang diperbesar dianggap lebih nyata dibandingkan keseluruhan karakteristik yang ada.
Hal ini mengarah pada pertanyaan penting: Realitas seperti apa yang sedang dibangun melalui revolusi digital? Wawasan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam penelitian Sherry Turkle, seorang profesor studi sosial dan teknologi di MIT. Dalam bukunya Alone Together, Turkle berpendapat bahwa interaksi masyarakat dengan teknologi digital berkembang dari fase rutin menjadi fase romantis. Joseph Weizenbaum, pencipta program Eliza yang mensimulasikan dialog seperti seorang psikoterapis, merasa terganggu ketika mahasiswanya percaya bahwa mereka berinteraksi dengan seorang manusia nyata. Pergeseran ini mencerminkan perubahan dari keterlibatan intelektual menjadi keterlibatan emosional.
Penelitian Turkle, yang berfokus pada respons anak-anak terhadap teknologi digital, sangat menarik karena reaksi anak-anak cenderung spontan. Pada 1970-an, anak-anak pertama kali diperkenalkan pada objek komputasi melalui permainan elektronik seperti Speak & Spell. Pada 1980-an dan 1990-an, mereka mulai bertanya-tanya apakah teknologi digital memiliki kehidupan. Hal ini terlihat dalam interaksi mereka dengan perangkat Tamagotchi. Pertanyaan seperti “Makhluk seperti apa Tamagotchi itu?” berkembang menjadi “Apa yang ingin dimakan Tamagotchi?” Permainan elektronik ini mendorong anak-anak untuk menjadi pengasuh, melibatkan emosi mereka. Ketika sebuah Tamagotchi “mati,” anak-anak merasakan kehilangan yang nyata, mirip dengan berkabung atas hewan peliharaan. Freud mencatat bahwa pengalaman kehilangan adalah bagian integral dari pembentukan identitas seseorang; secara metaforis, berkabung mempertahankan keberadaan objek yang hilang. Narasi kehilangan, seperti kebutuhan Wendy untuk melepaskan Peter Pan agar dewasa, memainkan peran penting dalam membentuk identitas. Demikian pula, narasi dan pengalaman seperti ini kini dimediasi melalui interaksi dengan teknologi digital. Ketika program digital berkembang menjadi entitas yang terasa “cukup hidup,” batas yang jelas antara realitas dan representasi terus terkikis.
B. Teori Budaya Postmodern di Era Digital
Budaya bukan sekadar kumpulan objek seperti novel, karya arsitektur megah, atau musik klasik. Budaya juga merupakan proses dinamis—sebuah pengalaman praktis yang hidup. Budaya menciptakan dan bertukar makna, mencakup dimensi intelektual sekaligus emosi dan perasaan. Dalam pengertian ini, budaya tidak terpisahkan dari pengaruh teknologi digital.
Salah satu pemikir utama yang ide-idenya penting untuk memahami teori budaya postmodern dalam kaitannya dengan realitas adalah Jean Baudrillard. Baudrillard berpendapat bahwa masyarakat telah melampaui pertukaran barang tradisional yang didasarkan pada nilai guna. Dalam masyarakat kontemporer, komoditas telah menjadi simbol dan tanda yang maknanya bersifat arbitrer dan konvensional, membentuk apa yang ia sebut sebagai “kode.” Dalam konteks ini, budaya berfungsi sebagai tata bahasa dari kode-kode tersebut. Konsumsi telah berevolusi menjadi sistem tanda yang digunakan individu untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri. Setiap aspek kehidupan manusia kini memiliki nilai komersial dan tunduk pada komodifikasi. Realitas buatan ini telah mendefinisikan ulang makna kehidupan dalam masyarakat modern.
Dalam mekanisme akselerasi kapitalisme lanjut, proses diferensiasi—membangun identitas berdasarkan produk dan gaya hidup—telah menjadi nilai penting dalam masyarakat. Istilah seperti “lama”—baik dalam konteks mobil tua, rumah tua, maupun orang tua—sering kali distigmatisasi dan bahkan ditakuti dalam budaya kapitalis. Akibatnya, dorongan untuk “pembaruan” melalui diferensiasi menjadi kebutuhan dalam wacana kapitalisme. Segala sesuatu yang diasosiasikan dengan “kebaruan” dianggap secara inheren “baik” dalam masyarakat saat ini.
Dahulu, simbol merujuk pada realitas yang mereka wakili. Namun, kini simbol telah menjadi realitas baru. Bagi Baudrillard, budaya postmodern bukan hanya budaya simbol, melainkan budaya simulakra. Simulakra merujuk pada tiruan atau salinan yang tidak memiliki orisinal. Perbedaan antara yang asli dan tiruan menghilang. Sebagai contoh, apakah file audio MP3 dari lagu Michael Jackson hanyalah salinan? Jika itu hanya salinan, mengapa pemutarannya menghasilkan apa yang kita kenali sebagai suara otentik Michael Jackson? Batas antara orisinal dan salinan menjadi tidak relevan.
Terkait hal ini, Baudrillard dengan terkenal menyatakan:
“Pembunuhan terhadap yang nyata: ini bergema dengan proklamasi Nietzsche tentang kematian Tuhan. Annihilasi berarti tidak ada yang tersisa, tidak ada jejak, bahkan tidak ada mayat. Seluruh realitas—jika pernah ada—tidak ditemukan, tidak dapat ditemukan. Ini karena realitas bukan hanya mati; ia telah lenyap, sepenuhnya dan sederhana. Dalam dunia virtual kita, pertanyaan tentang yang nyata, referensi, subjek, dan objek tidak lagi dapat diajukan.”
Simulasi, menurut Baudrillard, menjadi hiperreal, di mana perbedaan antara realitas dan simulasi runtuh. Contoh utama dari konsep ini adalah film The Matrix karya Wachowski bersaudara. Ceritanya mengikuti seorang programmer bernama Thomas Anderson yang menemukan bahwa kenyataan sehari-harinya adalah konstruksi simulasi yang diciptakan oleh sistem komputer yang mengendalikan segalanya. Dalam simulasi ini, baik realitas maupun representasinya dialami secara bersamaan, sehingga perbedaan di antara keduanya menjadi tidak relevan. Ini tidak berarti bahwa realitas dan simulasi tidak dapat dibedakan, melainkan bahwa perbedaannya menjadi tidak penting. Sering kali, simulasi bahkan terasa lebih “nyata” daripada realitas itu sendiri.
Bagi Baudrillard, model simulasi yang sempurna adalah Disneyland. Disneyland merepresentasikan fenomena “realitas-palsu”—sebuah tiruan yang benar-benar dialami sebagai nyata. Kegembiraan dan kebahagiaan yang dirasakan orang-orang di Disneyland tidak diragukan lagi otentik. Dalam dunia imajiner Disney ini, orang dewasa didorong untuk mengekspresikan sifat kekanak-kanakan mereka tanpa ragu. Disneyland menjadi contoh bagaimana simulasi dapat menciptakan realitas yang tidak hanya menarik tetapi juga sangat mengesankan, mengaburkan batas antara yang nyata dan yang buatan.
C. Status Kebenaran di Era Digital
Refleksi Filosofis
Di tengah pancaran layar dan konektivitas yang tak pernah berhenti, kita menjadi pencipta sekaligus bagian dari labirin digital. Dunia ini menghadirkan kebenaran yang “cair”, terpecah dalam berbagai tafsir, sementara realitas bergeser menjadi rangkaian simulasi. Dalam merayakan keberagaman, kita kerap kehilangan arah dalam relativisme, di mana batas antara yang asli dan tiruan memudar, dan pencarian makna universal terasa semakin jauh. Janji kebebasan dari teknologi sering kali berbalik menjadi keterikatan, ketika identitas kita dibentuk lebih banyak oleh algoritma daripada hubungan yang nyata.
Meski begitu, di tengah kompleksitas citra dan simbol ini, ada kerinduan untuk kembali terhubung secara langsung. Pertemuan tatap muka, meskipun singkat, menyimpan nilai yang tidak dapat digantikan oleh layar apa pun. Saat kita terus mengejar inovasi, penting untuk bertanya: apakah kita telah melupakan nilai-nilai mendasar yang menyatukan kita sebagai manusia?
Tantangan kita mungkin bukan sekadar menerima dunia digital apa adanya, tetapi menemukan hal-hal yang tetap bertahan melampaui perubahan zaman. Di tengah arus informasi, tugas kita adalah menemukan hikmah yang mengingatkan, bukan hanya tentang siapa kita saat ini, tetapi juga tentang potensi yang masih bisa kita wujudkan.
Kesimpulan: Revolusi Digital dan Tantangan Postmodernisme
Transformasi budaya yang didorong oleh teknologi digital telah banyak dikritisi oleh para pemikir. Bagi Jean Baudrillard, budaya postmodern dibentuk oleh arus gambar yang tak berujung, tanpa hierarki atau konotasi nilai tertentu. Hal ini mendorong Fredric Jameson untuk menggambarkan postmodernisme sebagai perayaan terhadap hal-hal yang dangkal. Dengan menekankan keberagaman, postmodernisme cenderung menghindari nilai-nilai universal. Bahkan keheningan, seperti dalam karya piano 4:33 oleh John Cage, dianggap sebagai seni. Namun, apa yang terjadi ketika seseorang hanya menggambar satu garis pada kanvas kosong? Apakah itu seni? Atau ketika sebuah kloset dipamerkan di museum dengan dalih sebagai karya seni?
Revolusi digital memperkuat penekanan postmodernisme pada keberagaman, membenamkan pengguna teknologi ke dalam lautan relativisme. Banjir informasi yang dihadirkan oleh teknologi digital justru menegaskan perlunya standar universal untuk membedakan informasi yang baik dari yang buruk. Bagi Jameson, postmodernisme juga menandai dominasi kapitalisme lanjut, di mana budaya menjadi komoditas yang didefinisikan oleh pastiche. Pastiche menyerupai parodi dalam imitasi, tetapi tanpa elemen kritis atau humor yang memberikan kedalaman pada parodi, menjadikannya kosong.
Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together, meskipun optimistis terhadap dampak positif teknologi digital, mengingatkan bahwa teknologi ini tetap belum sempurna. Pengguna sering beranggapan bahwa alat yang mereka gunakan adalah yang paling mutakhir, padahal teknologi terus berkembang. Lebih penting lagi, ada aspek pengalaman manusia yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi digital. Misalnya, pertemuan langsung dengan wajah orang lain adalah pengalaman yang unik dan tak tergantikan—sesuatu yang tidak bisa dihadirkan oleh Siri, Bixby, atau Google Assistant.
Era postmodern yang dibentuk oleh revolusi digital membawa peluang sekaligus tantangan. Sementara ia merayakan keberagaman dan inovasi, ia juga menuntut refleksi kritis terhadap keterbatasan dan implikasi budaya yang semakin dimediasi oleh teknologi. Dalam menghadapi lanskap yang terus berubah ini, tugas kita adalah menyeimbangkan kekayaan kemungkinan digital dengan kedalaman hubungan manusia dan nilai-nilai universal yang tak tergantikan.
Sumber:
- Barker, Chris. 2021. Kajian Budaya: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Baudrillard, Jean. 2021. Ilusi Vital. Yogyakarta: BasaBasi.
— — — . 1994. Simulacra and Simulation. Michigan: University of Michigan Press. - Dijck, Jose Van. 2013. The Culture of Connectivity. New York: Oxford University Press.
- Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publication.
- Hardiman, F. Budi. 2021. Aku Klik Maka Aku Ada. Yogyakarta: PT Kanisius.
- Hart, Archibald D. 2013. The Digital Invasion. Michigan: Baker Books.
- Kovarik, Bill. n.d. Revolutions in Communication: Media History from Gutenberg to the Digital Age. New York: Bloomsbury.
- Lim, Francis. 2008. Filsafat Teknologi: Don Idhe tentang Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius.
- Piliang, Yasraf Amir. 1997. “Realitas-Realitas Semu Masyarakat Konsumer.” In Lifestyle Ecstasy, edited by Idi Subandy Ibrahim, 171. Yogyakarta: Jalasutera.
- Smith, Philip, and Alexander Riley. 2009. Cultural Theory: An Introduction. Malden: Blackwell Publishing.
- Turkle, Sherry. 2011. Alone Together: Why We Expect More From Technology. New York: Basic Books.
Bagi yang tertarik dengan artikel ini dalam bahasa Inggris, silahkan akses tulisan di bawah ini:
Tracing the Digital Footprint: Truth, Reality, and Culture in the Postmodern Era
The digital revolution has reshaped postmodern culture, fostering global connectivity while challenging relationships and truth. This discussion examines its impact on daily life, cultural theories, and the nature of truth.