philosophizeUS

Cinta & kekuasaan: Wonder Woman dan Filsafat kepedulian

Photo by LightFieldStudios on Envato Elements Subscription (License)

Sebuah Introduksi:

Kata "bioskop" berasal dari dua kata Yunani, yaitu "bios" (βίος) yang berarti "kehidupan" dan "skopein" (σκοπέιν) yang berarti "melihat" atau "mengamati". Dengan demikian, bioskop dapat diartikan sebagai "tempat untuk melihat kehidupan" atau "tempat untuk mengamati kehidupan". Pengamatan kehidupan memang menarik dan seru untuk dinikmati. Itu sebabnya plot, adegan, konflik, anti klimaks dalam cerita selalu menjadi tontonan banyak orang. Namun, dalam proses pembuatan film, ada konsep-konsep penting dan menarik yang disuguhkan kepada penonton, tanpa kita menyadarinya. Artikel kali ini akan mencoba menggali film yang sudah tayang di indonesia, yaitu Wonder Woman , dan menganalisis dari segi filsafat kepedulian. Selamat mencicipi petualangan intelektual ini!

Konflik Budaya: Isu Kesetaraan Gender

Gordon L. Patzer, Ph.D dalam bukunya “Looks” membahas isu ketertarikan fisik atau “Physical Attractiveness“. Dia menyatakan bahwa hal ini telah menjadi bagian dari masyarakat modern yang disebut “look-ism“. “Look” berarti melihat, dan “ism” berarti ideologi atau pandangan yang dianut secara tegas. Apa yang terlihat di depan mata menjadi yang utama. Patzer mengatakan bahwa sejak lahir, kita sudah dinilai, diberi label secara diam-diam, mendadak, dan tanpa sadar. Kita sudah dihakimi sejak kecil secara diam-diam, mendadak, dan tanpa sadar. Misalnya, anak kecil sering dipuji seperti, “Hebat ya, bisa nyanyi,” atau “Pintar anaknya bisa joget,” atau “Bagus ya bajunya, cantik deh anaknya.”

Salah satu kesan yang paling kuat yang terus muncul dalam masyarakat adalah konsep kecantikan atau ketertarikan fisik. Ada juga budaya ‘barbie’ yang menekankan kecantikan dan kemudaan. Media dan film sering kali memperkuat citra ini dengan tokoh-tokoh seperti Rapunzel, Little Mermaid, dan Cinderella yang selalu digambarkan cantik meskipun tampaknya dibuat lusuh dan kotor oleh ibu tirinya. Cinderella tidak ditampilkan sebagai ‘the Beast’ dalam “Beauty and the Beast” dan meskipun lusuh, ia tetap menjadi tokoh utama yang dicari pangeran ke seluruh negeri. Kecantikan tampaknya menjadi suatu ‘keharusan’ bagi tokoh utama. Tidak heran jika salah satu perusahaan dengan omzet besar adalah perusahaan kecantikan.
Baru-baru ini, ada survei oleh majalah Teen People di Amerika yang menunjukkan bahwa 27% gadis remaja merasa tertekan oleh media untuk memiliki tubuh yang sempurna. Mereka merasa harus memiliki tubuh yang ideal agar dapat bersaing. Setiap hari, mereka melihat ratusan iklan pendek dengan tema kecantikan. Pada usia 17 tahun, mereka telah menerima sekitar 250.000 pesan komersial kecantikan. Penelitian menunjukkan bahwa penerbit Amerika sudah menggunakan foto supermodel untuk majalah sejak tahun 1890-an. Belajar dari sejarah, wanita sering kali diperlakukan hanya sebagai objek. Ini bukan berarti kita harus anti-dandan atau lebih baik jelek apa adanya, tetapi ketika wanita hanya dinilai dari penampilan fisiknya, ini merendahkan nilai dan peran mereka dalam masyarakat, menjadikan mereka hanya sekadar komoditas kecantikan yang diobjektifikasi dan diperalat untuk memenuhi hasrat pria. Hal Ini bukanlah cerita yang baru. Pada zaman perang dan barbar, kaum perempuan dan anak-anak selalu menjadi korban dan ditindas karena fisiknya yang lebih lemah dibandingkan pria. Jika kita melihat Yunani kuno, bahkan demokrasi Athena pun tidak memperbolehkan wanita ikut serta di dalamnya. Dalam film On the Basis of Sex , yang membahas pengadilan dan isu
gender, dikatakan bahwa meskipun tidak ada kata pria dan wanita dalam undangundang, dalam aplikasi hukum terdapat perlakuan yang berbeda terhadap masalah gender. Dalam film tersebut, seorang pembela wanita bersaksi bahwa saat dia sekolah hukum, tidak ada toilet wanita. Pria dan wanita mendapat perlakuan yang berbeda.
Salah satu contoh sejarah adalah Emmy Noether, seorang matematikawan brilian yang mengajukan teori revolusioner dan penting dalam fisika tentang simetri. Ironisnya, dia ditolak oleh banyak dosen ketika ingin menjadi profesor di universitas karena dia seorang wanita. David Hilber, seorang matematikawan legendaris, membela Emmy agar menjadi profesor dengan berkata, “Mengapa menjadi profesor di dunia akademis harus dilihat dari jenis kelaminnya? Ini adalah universitas, bukan toilet!” Akhirnya, Emmy diterima, tetapi pecah Perang Dunia Kedua dan dia harus melarikan diri dari Nazi. Kita tahu bahwa sebelumnya, wanita tidak mendapatkan kesetaraan dalam dunia pendidikan, bahkan di Indonesia kita mengenal Ibu Kartini yang memperjuangkan hal ini. Ketidaksetaraan gender adalah isu yang nyata dan jelas.
 
Tentu ada pengecualian, seperti suku Amazon yang dikenal sebagai suku tangguh yang semuanya wanita. Namun, ada juga laki-laki di suku ini. Sekarang, dalam masa pandemi, presiden Brasil berupaya menolong suku ini karena ada yang terkena virus COVID-19. Salah satu legenda mengatakan bahwa suku ini hanya wanita karena mereka menculik pria dari suku lain untuk memiliki anak, dan bayi pria akan dibuang. Antropolog menafsirkan bahwa ini adalah ketakutan pria terhadap wanita yang berkuasa. Lagi-lagi kisah yang didominasi dengan perspektif dominasi. Di tengah isu ketidaksetaraan gender ini, khususnya di Amerika, muncul film yang menerobos stigma masyarakat, yaitu Wonder Woman. Film ini berbicara tentang apa? Mari kita lihat lebih detail.
 

Wonder Woman: Pertarungan Abadi melawan Ketidakadilan Gender

Diana Prince, yang adalah Wonder Woman, merupakan putri Amazon. Ada gambaran sesuatu yang maskulin dalam suku ini, yaitu agresif, tangguh, kuat, dan terlatih dalam peperangan. Namun, menariknya, tokoh Diana sering kali dilarang melakukan sesuatu sejak kecil. Dia sering dilarang melakukan ini dan itu karena masih anak kecil. Ketika Wonder Woman ingin menolong manusia, juga dipertanyakan apakah manusia layak mendapat pertolongan. Namun, Diana sebagai Wonder Woman melakukan sebaliknya.
 
Dalam sejarah, wanita sering kali dibatasi dalam berbagai hal, seperti sekolah hanya untuk laki-laki, karier hanya untuk pria yang agresif, dan wanita hanya di rumah saja. Wonder Woman dalam film ini menerobos batasan-batasan tersebut. Aksi heroiknya di medan perang bukanlah sesuatu yang biasa untuk wanita, tetapi dia berperang untuk melindungi yang lemah dan melawan kejahatan. Seperti Superman, Wonder Woman tidak memakai topeng. Ini bukan berarti identitasnya tidak disembunyikan, tetapi berbeda dengan Batman yang bersembunyi di balik topeng dan beraksi dalam kegelapan malam Gotham City. Superman beraksi di siang hari tanpa topeng, menunjukkan keterusterangan. Begitu juga dengan Wonder Woman, wanita beraksi bukanlah sesuatu yang memalukan atau perlu disembunyikan. Dalam konteks Perang Dunia II, dia memakai kostum dengan bendera Amerika, menunjukkan bahwa wanita juga bisa menjadi pahlawan yang patriotik.
 
Jika kita perhatikan, tokoh superhero seperti Batman lahir dari tangan seorang psikolog, sehingga tidak heran musuhnya banyak yang memiliki gangguan jiwa seperti Two-Face dengan kepribadian ganda, Bane yang merupakan seorang control freak, Joker yang gila, Riddler yang memiliki obsesi mencari jawaban, dan Penguin yang dibuli dari kecil lalu menyimpang secara psikis. Wonder Woman juga diciptakan oleh seorang psikolog, William Moulton Marston atau dikenal sebagai Charles Moulton, pada tahun 1941. Pada tahun 1943, dia mengatakan, “Gadis mana yang mau menjadi wanita yang selalu dianggap lemah dan takluk.” Dia juga mengatakan, “Wanita adalah simbol cinta, sedangkan pria adalah simbol kekuatan dan kuasa. Kekuatan pria tanpa cinta membuat dunia menjadi hancur. Sedangkan Wonder Woman membuktikan bahwa wanita lebih superior karena menambahkan cinta pada kekuatan.” Ada tafsiran yang mengatakan bahwa ini ada penekanan feminisme di sini. Mungkin teman-teman bisa bertanya apakah benar cinta itu hanya dimiliki oleh kaum wanita saja? Apakah pria tidak bisa mencintai?
 
Tulisan ini tidak bermaksud memberikan stigma negatif kepada kaum pria. Memang benar, kita harus memperjuangkan kesetaraan, seperti hak untuk studi, hak di hadapan hukum, hak kebebasan berpendapat, dan hak-hak lainnya. Kita juga harus menentang segala bentuk penindasan, baik pria terhadap wanita maupun wanita terhadap pria. Sejarah menunjukkan bahwa terkadang ada kecenderungan yang berlebihan dalam memperjuangkan sesuatu. Kita harus waspada, namun sikap kita jangan berlebihan. Ketika pria tidak dapat menerima kenyataan bahwa hanya wanita yang bisa melahirkan sehingga menuntut agar para pria juga bisa hamil, ini tentu tidak masuk akal. Di sisi lain, ketika wanita tidak menerima menjadi ibu rumah tangga dengan bertanya “mengapa hanya pria yang boleh berkarir”, ini sering kali pergeseran isu yang sebenarnya. Hal yang perlu dipikirkan adalan apakah ada yang mengatakan wanita tidak boleh bekerja? Dan apa salahnya menjadi ibu rumah tangga? Ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang mulia. Hal-hal ini perlu dipikirkan kembali agar ada keseimbangan. Baik Pria dan wanita sama-sama unik dan indah. Keduanya tidak harus menjadi kompetitor yang saling menghancurkan. Kita perlu menyadari hal ini dan memperjuangkan kesetaraan yang memang perlu diperjuangkan.
 
Dalam cerita Wonder Woman, Moulton menggunakan peran dewa Ares atau dalam bahasa Romawi adalah Mars sebagai musuh yang harus dikalahkan oleh Wonder Woman. Mars adalah gambaran maskulinitas dan arti Mars adalah “berat”, yang berbicara tentang kekuatan. Menariknya, dalam buku “The Superhero Reader”, dikatakan bahwa pada tahun 1947, Charles Moulton meninggal dan penerusnya tidak memahami semangat feminisme ini, sehingga Wonder Woman selanjutnya tampak kembali lebih tunduk pada laki-laki. Pada tahun 1968, Wonder Woman diceritakan menyerahkan magic lasso, gelang, dan kekuatannya menjadi Diana Prince yang menjaga butik karena nasihat seorang laki-laki bernama Iching.
 

It's not about deserve: Etika Kepedulian dalam Wonder Woman

Salah satu tema kuat dalam film Wonder Woman adalah care ethics . Dalam kehidupan sehari-hari, “pemberian” itu seringkali ditujukan kepada “yang pantas”. Namun, cinta tidak hanya berbicara dari sisi itu. Mengapa kita menolong? Alasannya bukan karena yang ditolong itu sudah baik, tetapi karena cinta dapat memulihkan. Satu hal yang ditekankan dalam film Wonder Woman yang baru ini adalah kalimat “they don’t deserve you” yang muncul minimal empat kali. Ibu Diana, Wonder Woman, mengatakan manusia tidak pantas mendapat pertolongan. Saat berkelahi, Ares juga mengatakan bahwa manusia tidak pantas dilindungi, tetapi Wonder Woman menjawab, “it’s not about deserve“. Sebelumnya, Wonder Woman juga pernah mengatakan hal yang sama kepada Steve, dan Steve menjawab, “it’s not about deserve“. Jelas ada penekanan bahwa cinta merangkul orang-orang yang tidak memenuhi syarat. Ada adegan di mana Wonder Woman tidak melempar tank ke Dr. Poison yang sangat jahat. Dr. Poison saat itu memperlihatkan mimik ketakutan dan kelemahan. Ini menunjukkan bahwa di balik kejahatan, ada kerapuhan dan kelemahan yang membutuhkan cinta, bukan penghancuran.
 
Bayangkan jika kita menjalani hidup hanya berdasarkan untung-rugi saja. Relasi yang hanya transaksional akan terasa sangat dingin dan tidak manusiawi. Ketika seorang teman memberikan pertolongan kepada sahabatnya, tentu bukan karena didasarkan pada hitung-menghitung laba rugi yang akan didapatkan. Immanuel Levinas dalam filsafatnya mengajarkan bahwa etika bukan hanya karena aturan legalitas hukum yang kita harus taati, bukan karena orang baik kepada kita, tetapi karena keberadaan orang lain itu sendiri menimbulkan tanggung jawab kepada kita. Kehadirannya harus kita responi dengan perhatian dan cinta.
 

Sebuah Catatan: Jejak Kaum Wanita dalam Pusaran Sejarah

Sejarah menunjukkan bahwa wanita memberikan kontribusi besar dalam masyarakat. Ketekunan dan ketelitian mereka membuat dunia ini lebih baik. Contohnya, Marie Curie yang meraih dua hadiah Nobel, dan Bunda Teresa yang merawat orang-orang kusta dengan penuh keberanian. Florence Nightingale, yang dikenal sebagai “Malaikat Pembawa Lentera”, bekerja keras merawat tentara yang terluka. Helen Keller, yang meskipun buta dan tuli sejak usia dini, mengatasi hambatan luar biasa dan menjadi penulis terkenal, pembicara, dan aktivis hak-hak disabilitas. Tentu dengan bantuan gurunya, Anne Sullivan, Helen Keller menunjukkan bahwa keterbatasan fisik tidak menghalangi seseorang untuk mencapai hal-hal besar. Jangan lupakan pahlawan di balik layar, ibu kita. Mereka mungkin lebih banyak bicara melalui perhatian dan tindakan, tidak terekspos di masyarakat, tetapi mereka adalah pahlawan kita.
 

Refleksi Filosofis

Kisah perjuangan kaum perempuan dalam meraih kesetaraan, membawa kita pada perenungan akan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti Wonder Woman yang menolak tunduk pada batasan stigma negatif, setiap langkah perempuan adalah sebuah perlawanan terhadap stereotip yang membelenggu. Dalam kisah-kisah dan tokoh-tokoh fiksi yang menginspirasi, kita melihat kekuatan dan keteguhan yang menggerakkan jiwa, memecah keheningan dengan bisikan harapan.
 
Cinta dan kepedulian adalah kunci untuk memulihkan dunia ini. Dalam setiap tindakan dan perjuangan, kita menemukan potongan-potongan mosaik kemanusiaan yang saling melengkapi, menciptakan harmoni yang indah dan penuh makna. Mari terus berjuang dan menghargai kemanusiaan, karena dalam setiap perjuangan terdapat harapan untuk masa depan yang lebih cerah dan penuh kasih.
 

Kesimpulan: Revolusi Digital dan Tantangan Postmodernisme

Ketidaksetaraan gender masih menjadi masalah nyata, terutama dalam penilaian berdasarkan penampilan fisik yang sering merendahkan peran wanita. Contoh dari sejarah dan fiksi, seperti Emmy Noether dan Wonder Woman, menunjukkan perjuangan wanita melawan stereotip dan batasan tradisional. Kesetaraan gender perlu terus diperjuangkan dengan menghargai keunikan masing-masing gender. Wonder Woman mengajarkan bahwa cinta dan kepedulian adalah kunci untuk dunia yang lebih baik

Ketika kita menganalisis film dengan kritis, kita tidak akan melihat film dengan cara yang sama lagi

SJ
Demikian sedikit ulasan tentang Wonder Woman dan isu gender. Ke depannya, kita akan membahas lebih banyak tokoh superhero dan film lainnya. Melalui PhilosophizeMe, mari kita mengenal filsafat dan membawa kehidupan kita menjadi lebih baik.
 

Sumber:

  • Patzer, Gordon L. Looks: Why They Matter More Than You Ever Imagined New York: AMACOM, 2008.
  • Levi, Emily. “The Barbie Culture: How Media Perpetuates Unattainable Beauty Standards.” Teen People, April 2019.
  • Marston, William Moulton. The Superhero Reader. Edited by Charles Moulton. New York: Oxford University Press, 1941.
  • Noether, Emmy. “On Invariant Variational Problems.” Nachrichten von der Gesellschaft der Wissenschaften zu Göttingen, Mathematisch-Physikalische Klasse 2 (1918): 235–257.

Bagi yang tertarik dengan artikel ini dalam bahasa Inggris, silahkan akses tulisan di bawah ini:

Wonder Woman: Love, power, and the Philosophy of Care-A Movie Analysis

This article explores Wonder Woman through themes of gender inequality and societal biases, from beauty standards to the historical exclusion of women in leadership and education. Highlighting Diana’s story, it reflects on the enduring fight for equality and the power of compassion to challenge norms.

Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

My Social Media: