Sebuah Introduksi:
Postmodernisme dan Kisah: 'Gerak' Waktu dalam Film
Prof. Brian Greene menjelaskan fenomena menarik tentang perjalanan waktu: bayangkan ada dua saudara kembar, A dan B, yang berumur sama. Jika si A melakukan perjalanan dengan kecepatan sangat tinggi (mendekati kecepatan cahaya) dan kemudian kembali ke bumi, ia akan tetap muda karena waktunya melambat selama perjalanan. Sementara itu, si B yang tetap di bumi akan menua. Dengan kata lain, si A telah “berjalan” ke masa depan B. Dalam konteksfilm Back to the Future , konsep ini sangat relevan. Perjalanan ke masa lalu tidak mungkin terjadi karena terhalang oleh hukum entropi. Alur kisah yang bergerak maju – ini adalah ciri khas film-film modernisme yang memiliki awal dan akhir yang jelas.
Mari kita lihat film Memento karya Christopher Nolan yang memiliki konsep yang berbeda. Ceritanya sebenarnya sederhana: tokoh utama ingin menemukan penjahat yang melakukan kejahatan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap istrinya, untuk membalas dendam. Namun, dia mengalami kerusakan ingatan jangka pendek. Dia mudah melupakan pengalamannya terhadap orang-orang dan kejadian. Hal ini membuat dirinya tidak bisa mempercayai siapa pun, sehingga dia harus membuat tato hal-hal penting dari hal-hal yang perlu diingat. Dia mengambil foto-foto yang disusun berurutan agar tahu apa yang sedang dicari dan apa yang harus dilakukan. Bayangkan perasaan bingung dan cemas yang timbul, setiap kali dia sadar dan harus merangkai tato serta foto-foto tersebut.
Christopher Nolan menciptakan film ini dengan cara yang unik, yaitu memutar balik alur cerita. Film ini dimulai dari akhir cerita, yaitu pertemuan terakhir dengan penjahat, dan bergerak mundur ke awal cerita. Penonton diajak merasakan kebingungan tokoh utama, seperti mengalami amnesia, karena tidak tahu awal cerita. Dalam dunia postmodern, cerita tidak lagi harus satu arah ke depan. Film ini juga mengajak kita untuk memikirkan kembali konsep waktu dan bagaimana kita memahami realitas. Dengan membalik narasi, Nolan menunjukkan bahwa dalam dunia postmodern, alur cerita tidak harus linier dan bisa lebih kompleks serta menarik. Ini adalah contoh bagaimana cerita postmodern menantang norma-norma tradisional dan menawarkan cara baru dalam menikmati sebuah kisah.
Postmodernisme: Batas Kabur Antara Realitas dan Fiksi
Dalam film tradisional, ada pola yang selalu diikuti: kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan. Penonton bisa mengharapkan bahwa kebenaran, meskipun kadang tersembunyi, pada akhirnya akan muncul sebagai pemenang. Karakter baik dan jahat digambarkan dengan jelas dan kontras, sehingga tidak ada kebingungan bagi penonton tentang siapa yang harus didukung.
Namun, film postmodern mengubah paradigma ini dengan mengaburkan garis antara baik dan jahat. Karakter tidak lagi bisa “dikotakkan” dengan mudah ke dalam kategori hitam dan putih. Sebagai contoh, dalam film Suicide Squad , kita diperkenalkan dengan sekelompok karakter yang pada dasarnya adalah penjahat, termasuk Harley Quinn, pacar Joker. Pertanyaan yang muncul adalah, “apakah mereka benar-benar penjahat ataukah mereka memiliki sisi kepahlawanan dalam tindakan mereka?” Contoh lainnya adalah Godzilla. Apakah Godzilla adalah musuh yang harus dikalahkan atau sekutu yang perlu dibantu? Monster ini, yang dulu jelas-jelas merupakan ancaman, kini dipertanyakan perannya dalam cerita.
Film postmodern sering kali menunjukkan adanya kebingungan antara realitas dan fantasi. Mana yang nyata dan mana yang tidak, menjadi semakin kabur. Ingat film The Sixth Sense karya M. Night Shyamalan. Dalam film ini, karakter Malcolm yang diperankan oleh Bruce Willis ternyata adalah hantu yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah mati sampai pada akhir cerita. Penonton diajak merasakan kebingungan dan ketidakpastian yang sama seperti yang dialami Malcolm. Hal serupa terjadi dalam The Matrix, di mana keseharian yang kita anggap nyata sebenarnya adalah simulasi. Film ini memaksa kita mempertanyakan apa yang sebenarnya “nyata” dalam hidup kita.
Brian Godawa dalam bukunya Hollywood Worldviews mengatakan bahwa dalam era postmodernisme, cerita tidak lagi bertujuan untuk merefleksikan realitas. Seni adalah seni pada dirinya dan tidak melulu merepresentasikan kenyataan. Cerita hanyalah cerita saja, tanpa beban untuk mengomunikasikan realitas. Pendukung postmodernisme sangat merayakan keragaman dan perbedaan. Mereka merasa bahwa keseragaman yang ditawarkan oleh modernitas menghilangkan keunikan dan individualitas manusia. Dalam pandangan modernitas, manusia diharapkan menjadi efisien dan efektif seperti mesin di pabrik, di mana semuanya seragam dan tidak ada ruang untuk keunikan lokal. Sebaliknya, postmodernisme menekankan pentingnya keragaman dan keunikan. Ada banyak cara untuk melihat dunia dan banyak alternatif yang harus diberikan ruang untuk berkembang. Oleh karena itu, film postmodern tidak mengikuti alur cerita yang linier dan tradisional di mana penjahat selalu kalah dan pahlawan selalu menang. Penjahat bisa saja memiliki sisi pahlawan dan sebaliknya. Ini mencerminkan pandangan bahwa dunia tidak hanya hitam dan putih, tetapi penuh dengan nuansa “abu-abu”.
Sekarang, mari kita masuk ke dalam pembahasan film sebagai contoh anti dongeng klasik. Film ini membalikkan banyak konvensi dari cerita dongeng tradisional dan menawarkan perspektif yang segar dan unik. Shrek menggambarkan karakter ogre yang biasanya dianggap jahat sebagai pahlawan utama, sementara karakter-karakter lain yang biasanya baik dalam dongeng menjadi tokoh yang kurang simpatik. Melalui humor dan cerita yang cerdas, Shrek mengajak kita untuk melihat kembali dan mempertanyakan stereotip yang ada dalam cerita dongeng klasik. Film Shrek bukan hanya kisah hiburan semata, tetapi juga menyampaikan pesan yang lebih dalam tentang identitas, penerimaan diri, dan keberanian untuk menjadi berbeda. Film ini adalah contoh menarik tentang bagaimana kisah postmodern dapat memberikan pandangan baru terhadap konsep-konsep lama, dan mengajak kita untuk berpikir di luar kebiasaan keseharian.
Shrek: Anti Dongeng Klasik
Film Shrek yang dirilis tahun 2001 ditulis oleh Ted Elliot, Terry Rossio, dan tim. Ted Elliot juga merupakan penulis di balik cerita Aladdin (1992) dan Pirates of the Caribbean (2003-seri). Cerita Shrek ini merupakan kebalikan dari dongeng pada umumnya. Makhluk hijau bernama Shrek, seorang ogre yang jorok dan sering melakukan aktivitas buang angin (“kentut”), menjadi tokoh utama yang unik. Kita tidak sering melihat tokoh utama berperilaku seperti ini – bayangkan saja tokoh James Bond buang angin dan menikmatinya!
Saat Shrek mandi di rawa, lagu “All Star” dari Smash Mouth dinyanyikan, menunjukkan bahwa dia adalah pusat perhatian, dia adalah bintang utama. Shrek, yang tidak suka bersosialisasi dan egois, marah karena kenyamanannya di rawa terganggu oleh karakter dongeng yang kehilangan tempat tinggal akibat kejahatan Lord Farquaad. Lord Farquaad berjanji akan mengembalikan ketenangan Shrek jika ia menyelamatkan sang putri yang kemudian akan menikah dengan Farquaad. Shrek, yang tidak ingin diganggu, terpaksa menyelamatkan sang putri yang ditawan naga, hanya untuk mendapatkan rawanya kembali.
Mari kita ingat sejenak! Biasanya, pangeran tampan berkuda putih dengan gagah berani melawan naga demi menyelamatkan putri yang tak berdaya. Putri yang cantik dan bersuara merdu ini mungkin lemah secara fisik, tetapi memiliki harapan besar bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Dan tentu saja, cerita diakhiri dengan akhir yang bahagia. Perhatikan alur dan ciri khas ceritanya ini adalah pola kisah yang tradisional. Analisis dari kanal Wisecrack tentang Lord Farquaad sangat menarik. Dalam cerita Shrek, Lord Farquaad terobsesi dengan kesempurnaan. Dia marah karena semua makhluk dongeng telah “mengotori” dunianya yang sempurna. Kata kunci di sini adalah “kesempurnaan” – bersih, mekanis, teratur seperti mesin. Bahkan, ketika Shrek masuk ke kerajaan, ada sekelompok orang seperti robot yang rapi menyanyikan “Don’t make waves, stay in line.” Lirik lagu ini menggambarkan keteraturan mekanis, yaitu konsep keteraturan dalam modernitas. Shrek diceritakan dengan pembalikan nilai-nilai tradisional.
Shrek ingin menyelamatkan putri bukan karena nilai moral yang luhur atau cintanya pada sang putri, tetapi agar ia bisa mendapatkan rawanya kembali. Setelah diselamatkan, Putri Fiona terus mengeluh dan menggerutu tentang jalan cerita. Seharusnya, menurut dongeng tradisional, ia ditolong oleh pangeran tampan, bukan oleh monster yang egois. Fiona juga memiliki karakter yang berbeda. Dia berperangai kasar, macho, dan bahkan sang putri menguasai bela diri. Satu sisi ini adalah humor, tetapi juga mentertawakan nilai-nilai tradisional.
Selain itu, Fiona dikutuk menjadi ogre yang hanya bisa berubah kembali setelah dicium oleh cinta sejatinya. Ingat film Beauty and the Beast? Ternyata, dalam film Shrek, putri yang menjadi beast, dan cinta sejatinya adalah Shrek, si ogre buruk rupa dan buruk perilaku. Biasanya, pangeran buruk rupa akan berubah menjadi tampan setelah dicium oleh putri. Tapi di sini, setelah dicium, putri Fiona tidak kembali menjadi cantik, malah menjadi ogre permanen seperti Shrek. Dalam salah satu adegan, Shrek berkata, “sometimes things are more than they appear.” Ini menunjukkan bahwa realitas tidak selalu sejelas perbedaan hitam Sometimes things are more than they appear dan putih. Baik dan jahat bisa menjadi blur dan pemisahan antara indah dan buruk tidak setegas yang kita kira.
Shrek: Perayaan Keragaman dalam Kesamaan
Yang menarik dari film Shrek adalah penerimaannya terhadap ketidaksempurnaan atau “keburukan.” Tahukah anda bagaimana cerita Shrek ditutup? Bukan dengan “and they lived happily ever after,” tetapi “and they lived ugly ever after.” Hidup yang berantakan (messy) dan tidak sempurna inilah yang kita lihat sehari-hari. Mereka merayakan ketidaksempurnaan dan menikmatinya. Mengapa banyak dari kita suka kisah Doraemon? Karena cerita ini mencerminkan kehidupan sehari-hari kita. Kita adalah Nobita, yang bersaing cinta dengan si tampan Dekisugi, dibuli oleh Giant, dan dipermainkan oleh Suneo. Film Doraemon menarik karena kebanyakan dari kita adalah Nobita, bukan Dekisugi.
Mengapa Shrek dianggap sebagai tokoh yang egois? Ada satu dialog yang menjelaskan, ketika shrek menyatakan bahwa “mereka tidak suka aku padahal belum mengenal diriku.” Itu sebabnya Shrek memilih untuk menyendiri. Dalam dunia modern yang menekankan keseragaman, sesuatu yang berbeda itu sulit diterima. Sesuatu yang “lain” dianggap sebagai penyimpangan. Perhatikan penggunaan kata “lain” dalam “kelainan”, tentu kata ini tidak bernada netral. Selain itu, ketika ada benda asing (“lain”) masuk ke dalam tubuh, secara biologis tubuh kita akan memberikan respons penolakan dan memberikan perlawanan, seperti sel darah putih yang menyerang bakteri yang masuk melalui luka. Namun, permasalahannya adalah ketika kita memandang orang lain melulu sebagai ancaman. Bayangkan jika kita duduk dan di sebelah kita ada seseorang yang sangat berbeda dari kita, tanpa wajah, rambut panjang, kaki melayang – ini pasti akan mengganggu. Ini mungkin juga salah satu alasan kita takut terhadap hantu, karena mereka “berbeda” dari kita.
Orang yang berbeda dengan kita sering dianggap sebagai sesuatu yang asing. “Hell is the others,” demikian kata filsuf Jean-Paul Sartre dalam bukunya No Exit. Menurut Sartre, kebebasan kita dibatasi saat kita menjadi objek. Misalnya, dalam kalimat “Dia menabrak saya!”, “Dia” adalah subjek dan “saya” adalah objek. Saya hanya sekedar objek yang ditabrak. Saya tidak bisa menjadi hal lain dalam kalimat itu. Sebagai objek, subjek sudah mendefinisikan saya. Subjek itu aktif, saya sebagai objek hanya pasif. Ketika kita hanya sendirian, kita tidak akan diobjektivikasi oleh orang lain. Kita bisa menentukan apa saja. Kita menjadi subjek, dan itulah kebebasan. Namun, saat ada orang lain, kita tidak lagi bebas karena kita menjadi objek pengamatan dan tindakan dari mereka. Kita tidak bisa makan seenaknya atau berbicara sembarangan karena ada orang lain yang melihat dan menilai kita. Kita dinilai, dikategorikan, dan didefinisikan oleh orang lain. Kita membutuhkan penerimaan mereka, sehingga kita tidak lagi bebas. Kita hanya menjadi objek. Kesimpulannya, neraka itu adalah orang lain. Neraka ini bukan karena orang lain jahat, tetapi karena keberadaan mereka membuat kita menjadi objek yang tidak bebas.
Kita tidak harus sepenuhnya menyetujui pemikiran Sartre, tetapi ada poin penting di sini. Banyak orang haus akan penerimaan. Namun, pertanyaannya adalah jika kita haus akan penerimaan orang lain dan itu membuat kita menderita, siapa yang salah dalam hal ini? Apakah diri kita atau orang lain? Mengapa orang lain selalu menjadi ancaman bagi kita? Hidup akan terlalu pesimis jika kita melihat semua orang lain hanya sebagai “musuh”.
Immanuel Levinas memiliki pemikiran yang menarik mengenai keberadaan orang lain. Menurutnya, kita selalu melihat orang lain sebagai “yang lain.” Kita terganggu dan sulit menerima mereka. Solusinya adalah membuat mereka, yang lain, menjadi sama seperti kita. Kita mengkategorikan, memberi label, dan mengelompokkan mereka. Kita memaksa mereka menjadi “sama.” Salah satu contoh adalah suku Indian yang dianggap primitif dan disekolahkan serta diberi budaya Barat atas nama kebaikan pendidikan dan kemajuan peradaban. Penelitian menunjukkan bahwa mereka malah dianggap lebih barbar karena sering mabuk-mabukan saat dipaksakan menjadi “sama” dengan budaya barat. Ternyata, mereka mabuk karena krisis identitas. Mereka dipaksa hidup sesuai budaya Barat, yang bukan jati diri mereka. Mereka tidak bisa menikmati hidup menjadi “sama” seperti orang Amerika. Kasus ini dianalisis dalam buku Transforming Vision oleh Bryan Walsh, menjadi penelitian sosiologis yang perlu kita perhatikan. Kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri, apa hak kita memaksa orang lain menjadi sama seperti kita? Ini bukan diskusi tentang ketaatan terhadap aturan atau tata tertib. Jika kita di perusahaan yang sama, tentu adalah hal yang lumrah untuk kita taat pada aturan yang sama. Namun, memaksa keberadaan orang lain sehingga kehilangan jati diri mereka agar sama dengan kita adalah pemaksaan keseragaman atas keberagaman. Dalam kasus dunia pendidikan, misalnya saya adalah seorang guru matematika dan ada murid yang kesulitan matematika tetapi sangat baik dalam hal melukis. Apakah sebagai guru, saya akan marah karena dia tidak bisa mata pelajaran matematika yang saya ampu? Atau sebagai guru yang baik, apakah saya mendorong murid ini untuk berjuang semaksimalnya dalam mengembangkan kemampuannya, seiring saya mensyukuri kehebatannya dalam melukis?
Postmodernisme mengingatkan kita akan adanya kekakuan karena konteks keseragaman. Namun, jika penekanan akan keragaman dalam postmodernisme ini berlebihan, kita akan kebingungan antara mana yang benar dan mana yang salah. Semua menganggap diri benar karena tidak ada narasi universal yang berlaku bagi semua orang. Hal ini dapat diringkas melalui kalimat “tidak ada otoritas mutlak, yang ada hanya bijaksana lokal”. Penulis tetap percaya akan keberadaan kebenaran mutlak. Dalam konteks bilangan desimal, satu tambah satu tetap harus sama dengan dua, tidak boleh hasil yang lain. Di sisi lain, seni juga tidak melulu masalah subjektif, ada standar objektifnya. Jika tidak ada standar ini, maka jamban yang kotor pun dapat dijual dengan harga mahal atas nama seni. Ada kebenaran yang harus kita pertahankan, tetapi berpegang pada kebenaran bukan berarti anti keunikan. Percaya akan kebenaran mutlak, bukan berarti benci keragaman.
Harap melalui analisis film Shrek secara sederhana ini bisa membawa kesadaran kita akan kebenaran dan belajar untuk menerima keragaman. Keragaman bukanlah musuh persatuan, tapi justru memperkaya. Seperti dalam film The Good Doctor, Dr. Murphy yang autis justru memiliki kelebihan yang luar biasa. Dia bisa mendeteksi hal-hal yang tidak bisa ditemukan dokter lainnya. Saya suka istilah “difable” bukan “disable.” Penekanan bukan pada cacat, karena ini bukan cacat tapi kelebihan. Mari kita rayakan kekayaan keunikan orang lain.
Kesimpulan
Film Shrek mencerminkan penerimaan terhadap ketidaksempurnaan dan keragaman. Di dunia di mana pahlawan biasanya tampan dan gagah, Shrek hadir sebagai ogre hijau yang jorok dan egois, tetapi justru menjadi tokoh utama. Shrek tidak lain adalah “diri kita”. Film ini merayakan keunikan individu dan memahami bahwa setiap orang memiliki nilai dan kekuatan yang berbeda.
Selain itu, Shrek memberikan kritik tajam terhadap dunia modern yang sering kali menekankan keseragaman dan melihat perbedaan sebagai ancaman. Dalam dunia postmodern yang kompleks, Shrek menunjukkan bahwa realitas tidak selalu hitam-putih. Karakter seperti Shrek dan Fiona, yang jauh dari gambaran tradisional pahlawan dan putri, mengajak kita berpikir kritis dan memahami bahwa kehidupan bukan sekadar kategori hitam dan putih. Hubungan mereka yang tidak sempurna tetapi tulus menggambarkan bahwa kebenaran dan cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga.
Refleksi Filosofis
Dalam kerumitan kisah Shrek, kita diajak untuk merenungi makna sejati dari keindahan dan keberagaman. Seperti rawa yang menjadi tempat perlindungan Shrek, hidup kita pun dipenuhi dengan ketidaksempurnaan yang sering kali dianggap buruk. Labeling, penilaian masyarakat, komentar di SosMed, memberikan kelelahan tersendiri bagi mental kita. Namun, justru di dalam ketidaksempurnaan, tetap ada keindahan yang layak dirayakan.
Seperti Shrek yang memeluk ketidaksempurnaannya dan menolak keseragaman mekanis yang dipaksakan oleh Lord Farquaad, kita pun diajak terlebih dahulu untuk menerima diri dan merayakan perbedaan di sekitar kita. Di dunia yang sering kali menuntut kesempurnaan dan keseragaman, film Shrek mengingatkan kita bahwa keragaman adalah anugerah yang memperkaya kehidupan kita tanpa menghilangkan keseragaman. Perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kekuatan yang membawa warna dan kedalaman dalam hidup kita.
Sumber:
- Brian Godawa, Hollywood Worldviews (InterVarsity Press, US)
- Wisecrack, YouTube Channel: Wisecrack Analysis on Shrek
Bagi yang tertarik dengan artikel ini dalam bahasa Inggris, silahkan akses tulisan di bawah ini:
Shrek: A Postmodern Take on Fairy Tales? A Movie Analysis
Explore the richness of diversity and storytelling through Shrek and postmodern cinema. From the unique dynamics of Far Far Away to the fragmented narratives of films like Memento, this discussion reveals how embracing differences sparks creativity and innovation. Dive into the vibrant interplay of cultures, characters, and ideas that challenge traditional storytelling and redefine how we connect with the world.