Sebuah Pengantar: Ada apa dengan demokrasi?
Demokrasi sebagai Perselisihan
Menurut Ranciere, ketidaksepakatan dalam demokrasi bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau harus dipaksakan menjadi kesepakatan. Sebaliknya tatanan yang terus terbuka terhadap ketidaksepakatan adalah tatanan yang menantang untuk dipikirkan. Itu sebabnya demokrasi bukanlah suatu kondisi yang statis, tetapi merupakan suatu “perjalanan” yang dinamis. Robertus Robet, dalam diskusinya mengenai demokrasi, memberikan gambaran dua macam kekuasaan, yaitu kekuasaan yang “memaksa” dan kekuasaan yang sifatnya “persuasif”. Pada beberapa rezim yang besifat “memaksa” masih terdapat situasi konfrontasi “politik” yang memungkinkan seseorang untuk bersikap tegas dalam menilai rezim pemerintahan. Beberapa bentuk pemerintahan dengan metode persuasifnya justru kurang membuka medan konfrontasi sehingga sebenarnya demokrasi mendapat ancaman. Demokrasi pada dasarnya seharusnya mengandalkan disensus, bukan konsensus. Inti dari demokrasi adalah adanya ruang bagi ketidaksepahaman. Jika semua sudah sepaham, pada intinya ini bukanlah demokrasi.4Analisis mengenai demokrasi oleh Robertus Robet ini diambil dari Channel Youtube dengan judul “Inti Dari Demokrasi Itu Disensus Bukan Konsensus, ”Channel Youtube Sorge Magazine, posted may 6, 2015, https://www.youtube.com/watch?v=b88s1ufGUBU (diunduh 2 mei 2021). Menurut Ranciere, demokrasi selalu berupa tindakan perselisihan antara demos dan tatanan sosial dalam konteks verifikasi kesetaraan. Demokrasi adalah konsistensi tindakan perselisihan antara orang-orang yang tidak terhitung (yang salah atau the wrong) dengan tatanan sosial mapan yang selalu luput dalam melihat keberadaan yang salah.5Sri Indiyastutik, Disensus : Demokrasi sebagai Perselisihan menurut Jacques ranciere (Jakarta : Buku Kompas, 2019), hlm. 39.
Ranciere berhati-hati dalam mendefinisikan politik, karena politik yang sering didefinisikan atau didasarkan atas dasar (arkhe) yang “statis”, bukanlah politik dalam arti yang sebenarnya. Ide mengenai kesetaraan justru selama ini menjadi penopang bagi tatanan sosial dominan.6Ibid., hlm. 175. Filsafat politik seringkali justru menyembunyikan skandal ini, yaitu verifikasi kesetaraan. Berbeda dengan filsafat politik pada umumnya, Ranciere memulai dengan asumsi kesetaraan, bukan dengan janji kesetaraan. Hal ini menjadi masuk akal ketika demokrasi mulai mendapat banyak kritikan karena kebencian terhadap demokrasi ini dimulai dari sulitnya menerima kesetaraan. Justru bagi Ranciere, para pengritik yang merasa banyak mengetahui mengenai demokrasi ini, mereka tetap ada dalam skema yang sama yaitu skema oligarki. Ranciere menghindari pembicaraan yang ideal mengenai politik. Ada dua pembedaan istilah yang digunakan, yaitu La Politique (Politik, ) dan Le Politique (the political atau yang politis).7Ibid., hlm. ix Dengan pembedaan ini maka jelas sekali apa yang dikritik oleh para pembenci demokrasi dan kekecewaan yang muncul pada para pembela demokrasi tidak tepat sasaran. Kekecewaan terhadap demokrasi ditimbulkan karena tidak bisa membedakan antara tatanan sosial (Police) dengan politik yang sesungguhnya (yang politis). Police merupakan suatu tatanan kesatuan yang dapat terlihat dan terkatakan. Misalnya yang terlihat dalam demokrasi di Indonesia adalah kaum tertentu yang dianggap ‘normal’ sedangkan ada kelompok lainnya itu berada di luar tatanan. Ketika kaum ‘terpinggirkan’ muncul (mulai terlihat) karena asumsi kesetaraan, inilah yang disebut demos. Pembedaan “Politik” dengan “yang politis” dari pemikiran Ranciere ini melampaui apa yang dibahas dalam filsafat politik.
Politik yang dibahas Ranciere ada pada konteks demokrasi. Politik bukanlah perebutan kekuasaan partai politik terhadap kursi kekuasaan dalam pemerintahan. Politik juga bukanlah cara-cara atau metode untuk mempertahankan kekuasaan. Politik dalam konteks demokrasi ini pada intinya adalah gangguan. Gangguan terus menerus oleh the wrong terhadap tatanan sosial dominan untuk verifikasi kesetaraan. Maka dalam pemahaman Ranciere, tatanan itu tidaklah harus stabil. Khususnya dalam dunia yang serba cepat karena perkembangan teknologi dan media sosial, bila tatanan tidak terbuka maka demokrasi akan terancam mandeg8Ibid., hlm. xi
Titik tolak pemikiran Jacques Ranciere : Kesetaraan
Pembahasan mengenai demokrasi dalam pemikiran Ranciere itu dimulai dengan kesetaraan. Kesetaraan merupakan asumsi atau pegandaian (titik tolak). Kesetaraan bukanlah tujuan yang seringkali dalam praktiknya justru adalah pelanggengan dominasi kaum elite. Ketika filsuf politik, ahli politik, atau negarawan mengajarkan apa arti kesetaraan yang harus diperjuangkan, justru tidak mengandaikan kesetaraan sebagai titik tolak. Seperti seorang ibu buta huruf yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis, tetapi tetap percaya bahwa anaknya akan mampu berbahasa seperti dirinya. Sikap yang tepat dalam konteks demokrasi adalah ajakan untuk bertualang, bukan justru memberikan gagasan arkhe yang sifatnya statis.
Robertus Robet memberikan ilustrasi mengenai 4 mahasiswa kulit hitam yang hidup di zaman penuh rasisme di Greensboro, Carolina Utara, Amerika Serikat. Saat itu mereka ingin duduk di kantin kampus.9Ilustrasi tersebut diambil dari artikel Robertus Robet, Yang-Politis, yang-Estetis, dan Kesetaraan Radikal : Etika Politik Jacques ranciere pada buku F.Budi Hardiman, Robetus Robet, A. Setyo Wibowo, Empat Esai Politik (Jakarta : www.srimulyani.net, 2011), hlm. 31. Tetapi ada aturan yang secara ketat yang menyebutkan bahwa kantin tersebut hanya untuk mahasiwa kulit putih. Dalam hal ini, mereka bisa saja menulis petisi ke pimpinan kampus dengan argumentasi diskriminasi, melakukan protes ke dewan kota, atau menuliskan suatu laporan dengan basis teori hak asasi dan kesetaraan universal ke dewan Hak Asasi Manusia. Namun, yang terjadi adalah tanpa rencana apapun keempat mahasiswa tersebut mengunjungi kantin, duduk, kemudian makan dan minum tanpa mempedulikan peraturan yang rasis tersebut. Dengan melakukan tindakan ini, para mahasiwa ini muncul sebagai subyek yang mendasarkan pada asumsi kesetaraan. Istilah yang digunakan oleh Ranciere untuk menjelaskan bagian yang tak terhitung, yang tidak dianggap yang melakukan verfiikasi kesetaraan itu yaitu yang salah (the wrong) dan demos.
Kesetaraan dalam pemikiran Ranciere dapat dibedakan menjadi tiga hal. Pertama, kesetaraan adalah sebuah pengandaian (pra-anggapan), artinya kesetaraan bukanlah struktur ontologis yang mendasari hubungan antar manusia. Kedua, kesetaraan adalah titik tolak cara berpikir. Kesetaraan ini menentang segala bentuk hierarki kemampuan akal budi (tidak ada penilaian seseorang itu lebih pintar atau lebih bodoh). Ketiga, kesetaraan perlu diverifikasi atau diuji, artinya kesetaraan merupakan sesuatu yang perlu dibuktikan melalui tindakan.10Sri Indiyastutik, Disensus : Demokrasi sebagai Perselisihan menurut Jacques ranciere (Jakarta : Buku Kompas, 2019), hlm. 93. Maka kesetaraan bukanlah nilai yang menjadi dasar tindakan seseorang atau sekelompok orang. Kesetaraan bukan juga tujuan akhir atau ideal yang harus dicapai. Itu sebabnya, kesetaraan bukanlah janji yang terealisasi di masa depan, tetapi sebuah kondisi (syarat) hubungan antar manusia atau kelompok yang tidak ada hierarki dan dapat diverifikasi dalam kerangka ruang dan waktu yang dinamis (tidak dapat ditentukan). Pengujian kesetaraan ini (oleh demos terhadap tatanan sosial) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.11Ibid., hlm.94. Dengan demikian, politik tidak hadir untuk politik itu sendiri karena bersifat kontingen. Konsep politik Ranciere menolak segala bentuk dasar memerintah yang berdasarkan pada arkhe.
Pembahasan filsafat politik mengenai kesetaraan selalu berkait dengan logika arkhe. Sebaliknya bagi Ranciere, politik adalah an-archical. Dengan demikian, ia mengkritik praktik filsafat yang selama ini mencoba untuk mencari jalan keluar atas kebuntuan-kebuntuan pemikiran, misalnya definisi keadilan atau definisi kesetaraan.12Ibid., hlm 41. Analisis Ranciere mengenai konsep kepemimpinan yang berdasarkan pada arkhe diambil dari analisisnya terhadap pemikiran Platon. Dalam analisis Ranciere, pemikiran ini masuk ke dalam archipolitik. Legitimasi memerintah berdasarkan arkhe tertuang dalam buku Platon yaitu buku III dalam Laws.13Ibid., hlm 42. Platon membuat tujuh kriteria kelayakan seseorang untuk menjadi seorang pemimpin. Kriteria ini berdasarkan pada kodrat keturunan, senioritas, kebijaksanaan, kekayaan, penguasaan pengetahuan. Pembagian berdasarkan kriteria ini ke dalam partisi atau sekat-sekat dengan arche tertentu justru kontradiksi dengan titik awal kesetaraan. Dalam pemikiran Platon, yang merupakan archi-politik, tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk boleh menjadi seorang pemimpin. Partisi dan hierarki ini juga muncul juga dalam pemikiran Aristoteles. Pemikiran Aristoteles ini digolongkan ke dalam kelompok para-politik. Aristoteles membedakan dua kemampuan diri manusia, yakni phone dan logos. Phone merupakan kemampuan alamiah untuk menyuarakan rasa senang dan rasa sakit. Kemampuan ini dimiliki juga oleh hewan selain pada manusia. Di sisi yang lain, logos merupakan kemampuan berbahasa, berkata-kata, sehingga dapat membedakan mana yang adil dan mana yang tidak adil.14Robertus Robet, Yang-Politis, yang-Estetis, dan Kesetaraan Radikal : Etika Politik Jacques ranciere pada buku F.Budi Hardiman, Robertus Robet, A. Setyo Wibowo, Empat Esai Politik (Jakarta : www.srimulyani.net, 2011), hlm. 36.
Menurut Robet, filsafat Aristoteles memiliki sisi diskriminatif. Seorang budak dianggap tidak memiliki logos. Bagaimana mungkin seorang budak dapat berkomunikasi dengan tuannya jika tidak memiliki logos? Dalam kategori yang dibuat oleh Aristoteles terdapat eksklusi kaum budak dan tidak menghitungnya sebagai bagian dari tatanan. Ini seperti demokrasi kelas menengah. Dari kritiknya terhadap Aristoteles, Ranciere menyatakan konsepnya mengenai “rezim sensibilitas”. Rezim ini muncul ketika sang tuan menihilkan kapasitas logos seseorang sehingga dengan demikian terjadi peminggiran hak orang tersebut sebagai bagian dari tatanan.15Ibid., hlm.36. Keterbelahan dalam kategori manusia baik dalam pemikiran Platon maupun Aristoteles, yang menghasilkan penghitungan atau partisi sosial, dilakukan dalam suatu kategori tunggal, yaitu bahwa “politik” hanya berlaku terbatas bagi manusia yang memiliki kemampuan untuk mempraktikan atau memiliki akses kepada arkhe. Permasalahan yang sama juga terdapat pada pemikiran Karl Marx. Menurut Ranciere, filsafat Marx memiliki upaya untuk mengisolasikan kategori proletar dari kelas pekerja actual. Ploretariar Marx merupakan kategori konseptual abstrak hasil dari pemisahan dengan kelas pekerja aktual. Gambaran konsep ini terdapat pada rezim poltik yang menjanjikan kesetaraan. Pemikiran Marx ini digolongkan ke dalam meta-politik. Baik archi-politik, meta-politik, maupun para-politik, ketiganya merupakan lawan dari yang politis.16Ibid., hlm.37. Dalam analisis Ranciere terhadap yang politis, demos tidak memperjuangkan tiga hal ini.
Pengandaian kesetaraan yang dimaksud oleh Ranciere adalah kesetaraan akal budi. Posisi ini berlawanan dengan segala prinsip utama (arkhe) yang menghasilkan hierarki melalui pembagian-pembagian dalam masyarakat. Akal budi setara pada setiap orang, tidak ada hierarki yang menunjukkan seseorang lebih baik akal budinya daripada yang lain. Yang salah tidak inferior karena memiliki kemampuan akal budi yang lebih bodoh. Melalui munculnya diri yang salah tidak menunjukkan mereka telah naik level, tetapi justru memperlihatkan kesetaraan mereka dengan yang lain. Konsep kesetaraan Ranciere melampaui konsep kesetaraan aritmatis dan geometris yang berfokus pada pembagian kesetaraan berdasarkan nilai guna dan perannya dalam masyarakat.17Prinsip kesetaraan aritmatis dan geometris merupakan prinsip keadilan Aristoteles. Dalam keadilan aritmatis dinyatakan bahwa pembagian setara bagi setiap masing-masing orang dengan asumsi bahwa setiap orang berhak mendapat bagian yang sama. Sedangkan keadilan geometris merupakan pembagian kepada masing-masing orang yang berbeda berdasarkan kemampuan atau kualitas yang dimiliki seseorang. Analisis ini diambil dari Sri Indiyastutik, Disensus : Demokrasi sebagai Perselisihan menurut Jacques ranciere (Jakarta : Buku Kompas, 2019), hlm. 51. Bagi Ranciere, kesetaraan itu bukan tujuan, melainkan titik tolak atau pengandaian untuk berpikir dan bertindak. Kesetaraan ini bukanlah sesuatu yang bersifat ontologis (arkhe).
Kesimpulan
Ranciere kembali mengingatkan inti dari demokrasi bukanlah kesepakatan, tetapi ketidaksepakatan. Tentu sebagai orang Perancis, Ranciere memiliki posisi yang positif terhadap demokrasi. Hal yang penting dalam demokrasi adalah asumsi kesetaraan. Dalam pemikiran Ranciere inilah, kita kembali melihat dengan tepat apa yang selama ini dikatakan sebagai “politik”, tapi ternyata pada intinya berbeda sekali dengan “yang politis”. Tuduhan-tuduhan yang buruk dan kekecewaan terhadap demokrasi ternyata salah sasaran. Demokrasi adalah skandal yang terjadi terus-menerus. Justru menurut tilikan Ranciere, pada dasarnya, demokrasi adalah keterbukaan dan tawaran bertualang.
Sumber:
- “Demokrasi Pilihan Terbaik untuk Indonesia.” DetikNews. Mei 2009. https://news.detik.com/berita/d-1131080/demokrasi-pilihan-terbaik-untuk-indonesia (diakses April 06, 2021).
- Hakim, Rakhmat Nur. SBY Daftarkan Merek Partai Demokrat secara Pribadi ke Kemenkumham. 12 April 2021. https://nasional.kompas.com/read/2021/04/12/21091731/sby-daftarkan-merek-partai-demokrat-secara-pribadi-ke-kemenkumham (diakses April 19, 2021).
- Indiyastutik, Sri. Disensus : Demokrasi sebagai Perselisihan menurut Jacques Ranciere. Jakarta: Buku Kompas, 2019.
- Kayu, Teater Utan. Beranda Filsafat #1 Membaca Ranciere di Masa Pandemi. 7 April 2021. https://www.youtube.com/watch?v=S-yMNaJOZao&t=4748s (diakses April 2, 2021).
- Magazine, Channel Youtube : Sorge. Robertus Robet “Inti Dari Demokrasi Itu Disensus Bukan Konsensus”. 6 May 2015. https://www.youtube.com/watch?v=b88s1ufGUBU (diakses Mei 2, 2021).
- Robet, Robertus. “Yang-Politis, yang-Estetis, dan kesetaraan Radikal.” Dalam Empai Esai Politik, oleh Robertus robet, A. Setyo Wibowo F. Budi Hardiman. Jakarta: www.srimulyani.net, 2011.