Sebuah Pengantar: Pidato Heidegger
Heidegger dan Metafisika: Memahami Kembali Pertanyaan Dasar tentang Ada
Dua tahun setelah penerbitan buku Ada dan Waktu (Sein und Ziet)1Penulis mengutip informasi ini dari artikel A.Setyo Wibowo “Kronologi Jalan Hidup Heidegger”, majalah Basis , nomor 07-08, Tahun ke -67, 2018, hlm. 13, artikel yang berjudul What is Metaphysics diberikan dalam pidato pembukaan oleh Heidegger pada tahun 1929 di depan seluruh fakultas. Dalam kuliah pembukaan sebagai Profesor ordinarius menggantikan Husserl di Freiburg, Heidegger tidak menyebut istilah “Fenomenologi”. Hal ini menggambarkan adanya perbedaan posisi yang jelas antara dirinya dengan gurunya yang adalah Edmund Husserl. Apa yang sebetulnya dijelaskan dalam artikel ini? Apa bedanya artikel ini dibandingkan dengan keseluruhan pergumulan filosofis mengenai metafisika sebelum Heidegger?
Heidegger mulai dengan pertanyaan ‘apa itu metafisika?’. Melalui pertanyaan ini, kita berekspektasi untuk menjawabnya dalam bentuk definisi. Namun, apa yang diajukan oleh Heidegger disini bukanlah untuk membangun suasana diskusi mengenai metafisika secara umum, tetapi ini adalah pertanyaan yang partikular dan unik.2Martin Heidegger, What is Metaphysics, terj. David Farrel Krell (Cambridge University Press, 1998), hlm.82. Acuan buku ini selanjutnya ditulis secara ringkas sebagai berikut : (Heidegger 1998, hlm) Jadi pertanyaan yang diajukan disini bukanlah hanya “tentang” metafisika, tetapi Heidegger mengajukan pertanyaan secara metafisis. Ini adalah ajakan Heidegger bukan untuk melihat dari luar, tetapi melibatkan diri dalam pergumulan pertanyaan metafisis ini.3Analisis ini diambil dari Nathan Hohipuha, comment on “Martin Heidegger – What is Metaphysics?,” Channel Youtube Absurd Being, posted july 4, 2018, https://www.youtube.com/watch?v=n1vVI97J0ZM (diunduh 5 April 2020) Metafisika melibatkan keseluruhan beings dan karena kita termasuk di dalamnya maka keterlibatan diri ini menjadi penting.
Menurut Heidegger, filsafat barat telah terjangkiti gejala “kelupaan Ada”. Amnesia ontologis yang mengakibatkan filsafat barat terlena lalu lalai dalam pertanyaan metafisika yang sesungguhnya.4Donny Gahral Adian, Seri Tokoh Filsafat : Martin Heidegger, (Teraju, 2003), hlm.17 Pertanyaan Filsafat barat selama ini berbasis asumsi onto-theo-logi tentang “ada” sebagai benda-benda deskriptif. Secara umum, metafisika adalah ilmu yang membicarakan Ada (Being) terdalam dari segala sesuatu. Misalnya, segala jenis buah di supermarket akan dikumpulkan di tempat yang sama karena kategori ke-buah-an yang diandaikan secara abstrak menjadi ciri ‘universal’ dari buah-buah tersebut. Cara berpikir metafisis yang ingin menemukan dasar terakhir (on), dasar yang paling tertinggi (theos), dan dasar yang dapat diwancanakan dan direpresentsikan oleh pikiran manusia secara rasional (logos), inilah yang disebut dengan struktur berpikir onto-theo-logi.5A.Setyo Wibowo “Kronologi Jalan Hidup Heidegger”, majalah Basis , nomor 07-08, Tahun ke -67, 2018, hlm.7 Apakah berpikir artinya mencerabut seluruh misteri alam menjadi sekadar konsep-konsep abstrak? Ini adalah tradisi modern, yang berawal dari metafisika Platon, di mana manusia dengan rasionya (subyek) merasa bisa menjelaskan realitas alam (physis).6A. Setyo Wibowo, “Diktat Kuliah Metafisika : Heidegger” (makalah diberikan saat kuliah matrikulasi kelas Filsafat Metafisika di STF, Jakarta, Februari 2020), hlm.17. Selanjutnya kutipan ini akan disingkat dengan sebagai berikut : (Wibowo 2020, hlm.) Cara berpikir “metafisika produksionis” ini akan diterjemahkan di era modern menjadi cara berpikir kalkulatif yang tampak pada budaya teknologis.7Heidegger sendiri mengakui bahwa dirinya tidak anti teknologi. Hanya saja dirinya menyadari ada pengaruh laten penggunaan teknologi terhadap sang pemakai. Pengakuan ini terdapat pada interview dirinya oleh Richard Wisser pada video Heidegger on Being, Technology, & Task of Thinking (1969) di www.youtube.com/watch?v=MtATDIUSIxI&feature=youtu.be Maka pertanyaan Heidegger, mengenai apa itu ‘metafisika’, kembali menggali kesadaran kembali apa arti ‘metafisika’ sesungguhnya.
Pertanyaan tentang Metafisika
Artikel yang dibawakan Heidegger ini dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu membuka pertanyaan metafisis, eloborasi mengenai pertanyaan ini, dan kesimpulan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
1. Terbukanya pertanyaan metafisis (The unfolding of a metaphysical inquiry)
Ada dua ciri yang penting dalam pertanyaan yang bersifat metafisis ini, yaitu harus mencakup keseluruhan problem metafisika dan pertanyaan ini diajukan dengan kondisi penanya juga terlibat di dalamnya yakni Dasein (Heidegger 1929, hlm.82). Pertanyaan metafisis harus menyangkut posisi yang mendasar dari eksistensi sang penanya / Dasein, saat ini disini dan melibatkan penanya itu sendiri. Keberadaan Dasein tidak bersifat faktual melainkan apa yang disebut Heidegger sebagai ‘faktisitas’. Faktisitas merujuk pada keberadaan dalam dunia sedemikian rupa sehingga ketika Dasein memahami dirinya sebagai keterkaitan dengan keberadaan ada-ada (beings) yang lain. Misalnya, keberadaan seorang guru dalam dunia akademis terikat dengan benda-benda seperti spidol, OHP, in-focus, papan tulis, daftar hadir, dan lainnya. Dasein ini berbeda dengan benda-benda, karena terlibat dan melibatkan diri secara aktif dalam dunia (Adian 2003, hlm.27).
Dalam menggali pertanyaan ini, Heidegger membahas pengaruh sains dalam kehidupan manusia. Tentu saja, konteks kehidupan Heidegger saat itu diwarnai dengan perkembangan ilmu pengetahuan alam (sains) yang semakin maju dan ini terlihat dalam perkembangan teknologi pada abad ke-20. Sains bukan hanya berpengaruh dalam kehidupan akademik seseorang, tetapi juga mempengaruhi kehidupan keseharian kita (Cartlidge 2017). Aktivitas saintifik memiliki posisi tertentu dalam pendekatannya terhadap realitas. Heidegger mengatakan bahwa “all the sciences we adopt a stance toward beings themselves”.
Sains selalu berbicara hanya dalam aspek tertentu. Misalnya, ilmu biologi melihat sesuatu dari aspek hidupnya, ilmu kimia melihat sesuatu dari aspek interaksi kimiawi antar molekul. Itu sebabnya sains selalu membahas tentang yang ada. Apakah ini sudah keseluruhan atau ada yang di luar ada ini (nothing else)? Heidegger mengatakan “what about this nothing? Is it an accident that we talk this wah so automatically? Is it manner of speaking-and nothing besides?” (Heidegger 1929, hlm. 84). Bagaimana dengan istilah “nothing” else? Dari perspektif logika saintifik, nothing itu muncul ketika kita melakukan negasi terhadap totalitas dari beings. Maka nothing ini hanya merupakan konstruksi logika dengan cara menegasikan secara radikal. Nothing yang dimaksudkan oleh Heidegger bukanlah nothing dalam arti “the negation of the totality of beings” (Wibowo 2020, 79).
Apakah betul ‘ketiadaan’ (‘nothing’) ini hanya sekedar konstruksi logika? Apakah ini sekedar cara berbicara kita dalam kemampuan berbahasa? Atau justru ini adalah petunjuk yang mengarahkan kita untuk menyadari ada sesuatu yang melampaui apa yang dibahas oleh sains? Bagi Heidegger, negasi tidaklah menghasilkan nothing, tetapi justru negasi ini dimungkinkan melalui adanya nothingness ini. Di universitas, masing-masing ilmu justru terlalu sibuk membahas beings dan membuang begitu saja nothing sebagai nullity. Padahal pertanyaan tentang nothing pada dirinya sendiri ini yang justru paling penting (Wibowo 2020, hlm.79).
2. Elaborasi dari pertanyaan yang diajukan (The Elaboration of the Question)
Heidegger tidak hanya berpuas pada pembahasan mengenai ada. Dia lebih jauh ingin membicarakan kedalaman nothing. Jadi apa sebenarnya ‘ketiadaan’ / ‘nothing’ ini? Saat pertanyaan diajukan, nothing itu sendiri sudah diperlakukan sebagai ‘yang ada’ / being. Pembahasan mengenai nothing justru membawa kita kepada pembahasan yang berlawanan yaitu yang ada. Heidegger menyatakan “accordingly, every answer to this question is also impossible from the start. For itu necessarily assumes the form : the nothing “is” this or that” (Heidegger 1929, hlm.85).
Bagi Heidegger, Dasein memiliki akses pada nothing melalui pengalaman dari disposisi hati, lewat sebuah ‘rasa’ eksistensial, misalnya kebosanan otentik.8A.Setyo Wibowo “Kronologi Jalan Hidup Heidegger”, majalah Basis , nomor 07-08, Tahun ke -67, 2018, hlm. 6 Dalam kehidupan sehari-hari, Dasein mengalami dirinya berada di antara beings. Bahkan Dasein bisa jadi hanya memfokuskan perhatiannya pad asatu being partikular dengan resiko dirinya lebur dalam alam beings begitu saja. Melalui pengalaman sehari-hari, beings as a whole hanya tampak samar-samar bagi Dasein. Hanya pada momen tertentu, misalnya pengalaman kebosanan otentik, being as a whole ini memanifestasikan dirinya secara lebih jelas. Ini bukanlah bosan secara partikular seperti bosan makan buah tertentu atau bosan untuk bermain game, tetapi ketika seorang benar-benar bosan maka Dasein tergiring ke jurang eksistensi dimana kabut gelap kebosanan membawa Dasein dan beings lainnya ke jurang ketiadaan. Kebosanan ini memanifestasikan nothing (Wibowo 2020, hlm.80)
Rasa eksistensial ini juga paling nyata ditemukan dalam kecemasan (anxiety, angst). Ada perbedaan antara ketakutan dengan kecemasan. Ketika seseorang memiliki rasa takut maka biasanya adalah takut akan sesuatu (ada objek yang ditakuti). Namun, kecemasan ini tidak berkait dengan objek tertentu. Kecemasan merupakan suasana hati yang tidak lagi bersifat keseharian, melainkan menukik ke dalam ada Dasein itu sendiri (Hardiman 2020, hlm.89). Dalam kecemasan segala beings menampakkan dirinya sebagai keseluruhan dan persis pada saat cemas itu Dasein juga merasakan bahwa beings as whole itu sangat ringkih dan bisa meniada. Ketiadaan dengan demikian malah kelihatan sebagai yang mendasari adanya being as a whole itu sendiri (Wibowo 2020, hlm.79). Ian Alexander memberikan contoh saat kita mengalami kegelisahan lalu teman kita bertanya “ada apa denganmu? Kamu ada masalah?” maka kita akan menjawab “tidak ada apa-apa, benar kok! (it was nothing, really!)”. Apa artinya nothing disini? Kecemasan tidak menghilangkan beings atau menegasikan beings, tetapi negasi atau penghilangan ini hanya bisa dimungkinkan dengan dasar nothingness (moore 2019, hlm.540).
3. Kesimpulan terhadap pertanyaan (The Response to the Question)
Saat kecemasan datang, pada saat nothing memanifestasikan dirinya sebagai pertanyaan, pada saat itulah manusia menjadi Dasein. Nothing justru meng-ada-kan Dasein, dalam arti ketika nothing memunculkan diri, satu yang bertahan dari peniadaan adalah Dasein itu sendiri yang bertanya dan mau memahaminya. Namun, nothing ini bukanlah sesuatu yang bisa dipegang. Heidegger mengatakan “the nothing unveils itself in anxiety – but not as beings” (Wibowo 2020, hlm.80). Ketiadaan ini justru menunjukkan terlepasnya sesuatu dari pegangan kita. Dalam kecemasan, nothing memunculkan dirinya secara bersamaan dengan the whole beings (Heidegger 1929, hlm.89). Saat kita disergap kecemasan, keseluruhan beings tampak kehilangan artinya, “superflous” dan tidak lagi menjadi “whole” di mata Dasein.
Pertanyaan tentang "No-thing"
Heidegger menyatakan bahwa nothing tidak dapat dipahami dalam arti sehari-hari. Sebagaimana dinyatakan dalam metafisika biasa. Filsafat umumnya membahas persoalan nothing lewat pernyataan ex nihilo nihil fit (dari ketiadaan tiada apa-apa). Metafisika pada umumnya mengartikan nothing sebagai non-being. Gagasan ini dilandasi ide bahwa ada yang hadir dalam sebuat being akan membentuk dirinya sedemikian sehingga menimbulkan image atasnya. Kekristenan sebaliknya justru menolak pernyataan ex nihilo nihil fit ini. Karena bagi penganut kreasionisme, nothing memiliki arti sebagai complete absence of beings apart from God. Bagi kalangan Kreasionisme, nothing menjadi konsep tandingan bagi ada yang paling tinggi yaitu Tuhan. Sekali lagi konsep tentang nothing disini hanya diperlakukan sebagai konsep tandingan atau suatu negasi sehingga tidak pernah dibahas dalam dirinya sendiri (Wibowo 2020, hlm.82). Sejauh metafisika didefinisikan sebagai pencarian akan sesuatu yang melampaui beings, maka pertanyaan mengenai nothing ini juga adalah pertanyaan metafisis. Pertanyaan tentang nothing justru menjadi rangkuman seluruh metafisika (Heidegger 1929, hlm. 95). Bagi Heidegger, esensi Dasein adalah going beyond beings itu sendiri. Dan sifat dari going beyond itu adalah metafisika itu sendiri. Metafisika dengan demikian adalah bagian dari natur manusia. Metafisika bukanlah satu disiplin dalam aspek tertentu tetapi justru adalah yang mendasar bagi Dasein itu sendiri maka keseriusan dan keketatan metafisika tidak dapat dilampaui oleh disiplin ilmiah apa pun (Heidegger 1929, 96).
Pembahasan what is metaphysics diberikan oleh Heidegger merupakan tantangan bagi hegemoni logika dalam filsafat. Metafisika umumnya berbicara tentang yang ada sebagaimana ada-nya sendiri. ‘Ada’ disini menunjuk kepada hal apa pun baik yang intelligibel maupun sensibel. Namun, Heidegger menunjukkan bahwa pada peridode tertentu, metafisika ini memiliki struktur onto-theo-logi. ‘Ada’ yang dibahas adalah yang umum/universal lalu dijadikan sebab akhir/pengasal/pencipta. Ini yang menjadi ciri khas metafisika barat (Wibowo 2020, 83). Karakter ini muncul ketika kita membuat representasi atas ada sejauh adanya (ens qua ens). Pendekatan ini tidak pernah membahas ada dalam dirinya sendiri karena menurut Heidegger, ‘ada’ itu bersifat terwujudkan sekaligus menyembunyikan diri. Heidegger mendorong kita untuk beralih dari “berpikir tentang ada via representasi” menuju “berpikir tentang ada itu sendiri” (Wibowo 2020, 84). Itu sebabnya dalam pembahasan metafisika ini, Heidegger mengajak kita untuk mundur selangkah saat berhadapan dengan pernyataan-pernyataan metafisika pada umumnya (Wibowo 2020, 85). Jadi mengapa ada daripada tidak ada? Ini adalah pertanyaan yang mendorong kita seharusnya melirik kepada ‘nothing’ yang tidak pernah dibahas dalam metafisika sebelumnya. Seluruh filsafat Heidegger hendak membicarakan being dan nothing yang dilupakan oleh sejarah filsafat barat yang berstruktur onto-theo-logis.
Sumber:
- Adian, Donny Gahral. 2003. Seri Tokoh Filsafat : Martin Heidegger. Jakarta: Teraju.
- Cartlidge, James. 2017. “Academia.” Www.academia.edu. Accessed April 06, 2020. https://www.academia.edu/11597206/A_summary_of_Heideggers_What_is_Metaphysics_.
- Hardiman, F. Budi. 2020. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG (Gramedia).
- Heidegger, Martin. 1998. “What is Metaphysics?” In Pathmark, by Martin Heidegger, 82-96. Cambridge University Press.
- Hohipuha, Nathan. 2018. Martin Heidegger – What is Metaphysics? July 4. Accessed Aprilo 5, 2020. https://www.youtube.com/watch?v=n1vVI97J0ZM.
- moore, Ian Alexander. 2019. “Science, Thinking, and the Nothing as such : On the Newly Discovered Version of Heidegger’s “What is Metaphysics?”.” PhilPapers. March. Accessed April 6, 2020. https://philpapers.org/rec/MOOSTA-3.
- Wibowo, A. Setyo. 2020. “Diktat Kuliah Matrikulasi Metafisika : Heidegger.” STF Diryarkara. 73-89.
- —. 2018. “Kronologi Jalan Hidup Heidegger.” Majalah Basis tahun ke-67, no 07-08: 4-28.