philosophizeUS

Barbie dan Visi Kesempurnaan: Diri, Identitas, dan Budaya

Photo by George Martin on Unsplash

Mengapa kita hidup dengan menerima bahwa diri kita harus tunduk pada ekspektasi dari luar? Benarkah hidup hanya soal mengejar kesempurnaan? Apa sebenarnya makna dari hidup yang bahagia? Apakah kebahagiaan sesederhana mengikuti ideal “sempurna” yang ditentukan orang lain, atau justru berasal dari pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri dan keberanian memilih jalan hidup yang benar-benar kita renungkan? Barbie (2023) membongkar pertanyaan-pertanyaan ini, mengajak kita merenung tentang identitas, keaslian diri, dan ilusi-ilusi yang sering kita anggap sebagai makna.

Sebuah Introduksi:

Dalam kajian budaya, Barbie sudah lama jadi ikon penting dalam budaya pop selama lebih dari enam dekade. Lebih dari sekadar mainan, Barbie merepresentasikan perkembangan nilai-nilai sosial dan perubahan harapan terhadap perempuan dari generasi ke generasi. Namun lewat film Barbie (2023), dunia Barbie yang tampak sempurna justru membuka kritik tajam terhadap peran gender, ekspektasi sosial, dan pencarian jati diri. Di satu sisi, Barbie mendapat dukungan dari gerakan feminis karena dianggap membawa pesan kebebasan dalam pilihan karier untuk perempuan. Tapi di sisi lain, ia juga mendapat kritik dari gelombang feminisme lainnya karena dianggap menjadikan kecantikan sebagai komoditas.

Kehadiran Barbie: Ketika Fantasi Menggugat Realitas Sosial

Pada tahun 1959, saat Barbie pertama kali diperkenalkan oleh Mattel, pasar mainan untuk anak perempuan didominasi oleh boneka bayi. Boneka-boneka ini mendorong anak perempuan untuk bermain peran sebagai ibu, mencerminkan harapan tradisional terhadap perempuan sebagai pengasuh dan pengurus rumah tangga. Barbie menawarkan sesuatu yang benar-benar berbeda: boneka yang tampak seperti orang dewasa, dengan gaya fashion yang modis dan beragam pilihan karier.

Ini jadi perubahan besar yang membuka imajinasi anak-anak perempuan untuk bermimpi lebih jauh. Barbie bukan sekadar boneka; ia menjadi simbol aspirasi. Bersama Barbie, anak-anak perempuan bisa membayangkan diri mereka sebagai dokter, astronot, konsultan, bahkan kepala negara — melampaui batasan-batasan konvensional yang berlaku pada masa itu.

Dalam film Barbie tahun 2023, yang disutradarai oleh Greta Gerwig, ide ini dihidupkan kembali dengan perpaduan antara narasi klasik dan simbolisme yang mendalam. Adegan pembuka film ini menyisipkan penghormatan pada film 2001: A Space Odyssey (1968) karya Stanley Kubrick, dengan menampilkan anak-anak perempuan yang bermain boneka bayi — mencerminkan dominasi peran domestik dalam mainan yang ditujukan untuk anak perempuan sebelum kehadiran Barbie.

Kehadiran Barbie (diperankan oleh Margot Robbie) sebagai sosok raksasa, mirip seperti monolit dalam 2001: A Space Odyssey, melambangkan pergeseran besar. Anak-anak dalam adegan tersebut “memberontak” dengan menghancurkan boneka bayi mereka — sebuah metafora atas transisi dari peran tradisional menuju peluang yang lebih luas dan revolusioner.

Dari Mattel ke Barbie: Awal Mula Sebuah Ikon

Mattel, perusahaan yang menciptakan Barbie, didirikan pada tahun 1945 oleh Harold “Matt” Matson dan Elliot Handler, bersama istri Elliot, Ruth Handler. Nama “Mattel” sendiri merupakan gabungan dari “Matt” dan “El,” sementara nama Ruth tidak tercantum dalam logo perusahaan. Awalnya, Mattel memproduksi bingkai foto, lalu berkembang ke perabot boneka, boneka beruang, dan berbagai mainan lainnya. Bahkan, mereka sempat bekerja sama dengan Walt Disney dalam program Mickey Mouse Club.
 
Elliot dan Ruth memiliki dua anak: Barbara dan Kenneth. Kedengarannya familiar? Ya, Barbie dan Ken! Ruth Handler, sang pencipta Barbie, terinspirasi dari putrinya, Barbara, yang senang bermain boneka kertas. Ruth menyadari bahwa boneka bayi yang mendominasi pasar saat itu tidak memungkinkan anak perempuan untuk membayangkan diri mereka sebagai orang dewasa. Dari pengamatan itulah Barbie lahir pada tahun 1959 — boneka pertama dengan tampilan dewasa yang menawarkan cara pandang baru bagi anak-anak perempuan untuk membayangkan masa depan mereka dengan lebih bebas.
 
Namun, perjalanan Barbie menuju pasar tidak mulus. Di dalam perusahaan sendiri, beberapa eksekutif mengkritik desain Barbie, menganggap tampilannya “terlalu dewasa” karena bentuk tubuhnya yang sangat feminin. Dari luar, ketika Barbie pertama kali diluncurkan, sebagian ibu rumah tangga merasa cemburu karena boneka ini tampaknya menarik perhatian para suami mereka. Untuk mengatasi tantangan ini, Ruth Handler mengubah strategi pemasaran Barbie. Ia mempromosikan Barbie sebagai alat edukatif — boneka yang bisa membantu anak perempuan belajar dan mengembangkan cita-cita.
 
Strategi ini terbukti berhasil. Pada tahun 1963, Mattel telah menjual jutaan boneka Barbie. Ruth Handler tidak hanya dikenal sebagai pengusaha sukses, tapi juga satu-satunya eksekutif perempuan di perusahaan saat itu. Barbie pun melampaui statusnya sebagai mainan biasa, berkembang menjadi fenomena global dan simbol aspirasi perempuan di seluruh dunia.
 

Dunia Barbie: Antara Fantasi dan Realitas

Dalam film Barbie (2023), dunia Barbie digambarkan sebagai tempat yang sempurna dan penuh keajaiban. Para karakternya sering kali tidak menyadari diri mereka sendiri, menciptakan suasana yang ringan, idealis, dan tanpa beban. Barbie hidup dalam kebahagiaan yang terus berulang, melakukan aktivitas yang sama tanpa pernah mempertanyakannya. Tidak ada kebutuhan untuk bekerja; semuanya dan semua orang tampak sempurna. Mereka tidak butuh air untuk mandi, mereka pura-pura makan dan minum — persis seperti cara anak-anak bermain dengan boneka Barbie, hidup dalam dunia pura-pura. Bahkan saat mobil terbalik pun, entah bagaimana caranya, mobil itu akan mendarat kembali dengan posisi tegak.

Hal-hal mendasar seperti makanan, pekerjaan, bahkan seksualitas, bukanlah persoalan di semesta Barbie. Film ini dengan teliti menampilkan setiap adegan dan latar dengan detail yang akurat, termasuk produk-produk nyata yang dijual oleh Mattel. Dunia ini membangkitkan konsep simulacra yang pernah dijelaskan oleh Jean Baudrillard. Di sini, simulasi bukan lagi dunia kedua yang meniru kenyataan, tapi justru menjadi “kenyataan” itu sendiri. Ia mencerminkan dunia kekanak-kanakan yang dilindungi sepenuhnya dari bahaya, menciptakan lingkungan yang sepenuhnya terkendali dan teridealisasi.

 

Pergulatan Eksistensial: Kesempurnaan yang Melelahkan

Perjalanan Barbie menuju dunia nyata dimulai ketika ia mulai mempertanyakan kenyataan dari keberadaannya sendiri. Salah satu adegan paling mencolok dalam film terjadi saat pesta dansa yang penuh keceriaan tiba-tiba terhenti karena Barbie melontarkan pertanyaan yang “aneh”: “Pernah nggak sih kamu mikir soal kematian?” Pertanyaan ini — yang jarang muncul dalam dunia masa kanak-kanak yang bebas beban — menjadi simbol transisi Barbie menuju kedewasaan dan kesadarannya akan realitas kematian.

Kematian menjadi tema sentral yang mengubah arah narasi film. Momen-momen ketidaksempurnaan, retakan, dan penyimpangan dari norma mulai muncul, mengajak penonton untuk merenung tentang identitas dan makna hidup. Dalam perspektif eksistensialisme, eksistensi mendahului esensi — artinya, seseorang ada terlebih dahulu, baru kemudian menentukan tujuan dan makna hidupnya sendiri. Barbie, yang hidup di dunia utopis, awalnya mengikuti tujuan yang sudah ditetapkan untuknya: cantik, pintar, dan kaya. Standar-standar sosial ini sering dijalani tanpa banyak pertanyaan, digerakkan oleh ekspektasi dari luar. Tapi ketika Barbie mulai dihadapkan pada kompleksitas hidup dan kenyataan akan kematian, perjalanannya berubah menjadi proses pencarian jati diri — menantang ideal-ideal yang sudah dibentuk sejak awal dan mendorongnya untuk menemukan makna dan tujuan hidup yang lebih personal, jauh dari peran-peran dangkal yang selama ini dibebankan padanya.

Namun pada akhirnya, Barbie menyadari bahwa ia tidak harus patuh pada “tujuan-tujuan” yang dipaksakan kepadanya. Ia punya kebebasan untuk menciptakan maknanya sendiri. Transformasi ini menjadi titik balik di mana Barbie mulai bangkit sebagai individu yang mampu melampaui ekspektasi sosial. Kesadaran serupa juga dialami oleh Ken. Dalam momen emosional di akhir film, Ken akhirnya meledak — ia mengungkapkan pergumulannya untuk memahami siapa dirinya jika tidak lagi berada di bawah bayang-bayang Barbie. Kalimatnya yang kini terkenal, “There is no just Ken,” merangkum krisis identitas tersebut. Ken merasa bahwa keberadaannya hanya sah jika ada Barbie — dirinya tak dianggap sebagai pribadi utuh, tapi hanya sebagai pelengkap Barbie.

Krisis yang dialami Ken menunjukkan tekanan yang muncul saat identitas seseorang sepenuhnya bergantung pada orang lain. Selama ini hidup hanya “untuk Barbie,” Ken pun menghadapi dilema eksistensial yang sama: ia harus menemukan siapa dirinya sebenarnya, terlepas dari relasi atau tujuan yang ditentukan oleh orang lain. Dalam film ini, karakter Ken menggambarkan bagaimana identitasnya sepenuhnya terbentuk dari atensi Barbie. Menariknya, Ken bahkan tidak punya “rumah” seperti Barbie; keberadaannya baru dianggap bermakna jika diakui oleh Barbie.

Perasaan Ken ini secara menyentuh mencerminkan bagaimana perempuan kerap diperlakukan dalam masyarakat patriarkal — diabaikan, dianggap tidak penting, dan hanya dihargai sebagai pelengkap kehidupan laki-laki. Pararel ini menjadi kritik tajam terhadap peran gender tradisional, membalik cara pandang konvensional tentang Barbie dan Ken, serta mendorong keduanya untuk mencari jati diri dan tujuan hidup atas kehendak mereka sendiri.

Ada satu adegan penting di mana Barbie dihadapkan pada pilihan oleh Weird/Crazy Barbie: tetap tinggal di Barbieland atau pergi ke dunia nyata. Momen ini menggemakan adegan ikonik dalam The Matrix, ketika Neo harus memilih antara pil merah atau pil biru. Dalam versi yang lebih jenaka, Weird Barbie menawarkan pilihan ini lewat dua jenis alas kaki: sepatu hak tinggi yang melambangkan kenyamanan dan kesempurnaan Barbieland, atau sandal datar yang mewakili realitas dunia nyata yang berantakan. Weird Barbie, sosok yang tinggal di Barbieland, dianggap “aneh” karena penampilannya yang tidak biasa. Ia digambarkan sebagai boneka yang “terlalu sering dimainkan” — rambutnya acak-acakan, tubuhnya penuh coretan, dan posenya kaku serta tidak alami.

Dalam narasi film, Weird Barbie mengambil peran mentor, mirip Morpheus yang membimbing Neo dalam The Matrix, saat Barbie mulai mengalami krisis eksistensial. Keputusan yang harus diambil Barbie — beserta segala risikonya — mencerminkan salah satu tema utama dalam filsafat eksistensial: pilihan dan konsekuensinya. Untuk menghadapi rasa gelisah yang semakin kuat, Barbie harus berani menatap kenyataan dan melangkah ke dunia nyata demi memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya.

Filsafat eksistensial menekankan bahwa setiap individu harus menghadapi kebebasan untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan itu, bahkan saat dihadapkan pada ketidakpastian atau kegelisahan eksistensial. Bimbingan Weird Barbie menjadi pemicu kebangkitan Barbie, mendorongnya untuk mempertanyakan kenyamanan hidup dalam dunia yang ideal tapi palsu, dan mulai mempertimbangkan kompleksitas realitas. Pilihan untuk meninggalkan Barbieland bukan hanya tentang pergi ke dunia nyata, tapi tentang keberanian untuk mencari kebenaran — betapapun tidak sempurna dan menantangnya jalan itu.

 

Esensi atau Eksistensi: Mana yang Lebih Mendasar?

Saat Barbie dan Ken tiba di dunia nyata, peran mereka berubah secara drastis. Barbie, yang sebelumnya dikagumi dan diposisikan sebagai sosok ideal, kini menjadi sasaran pelecehan dan objektifikasi — terlihat jelas dalam adegan ketika seorang asing memperlakukannya secara tidak pantas. Sebaliknya, Ken justru menemukan dirinya berada dalam posisi dominan, mendapatkan penghormatan dan pengakuan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa kekuasaan dan status baru ini mendorong Ken untuk membawa sistem patriarki dari dunia nyata kembali ke Barbieland.

Kepulangan Ken ke Barbieland membawa perubahan besar. Para Ken mengacaukan estetika tradisional Barbieland dengan menyingkirkan pakaian feminin para Barbie, mengganti furnitur berwarna pink dengan nuansa gelap seperti hitam dan cokelat, serta memperkenalkan aktivitas “maskulin” seperti bermain voli di pantai. Transformasi Barbieland ini menjadi metafora visual atas penerapan nilai-nilai patriarki.

Salah satu momen paling mencolok adalah pertempuran antar Ken, yang menjadi kritik tajam terhadap sifat agresif dan penuh kekerasan dari sistem patriarki. Mereka menamai kelompok mereka “Kendom” — permainan kata dari Ken dan dominate — mencerminkan keinginan mereka untuk menguasai Barbieland. Dalam usahanya ini, Ken mencerminkan perilaku CEO Mattel yang berusaha memaksa Barbie kembali ke dalam “kotak” secara harfiah — simbol dari pembatasan sosial yang dikenakan terhadap perempuan. Dengan cara serupa, Ken mencoba mengambil alih Barbieland dengan memperkenalkan struktur hierarkis patriarki yang ia pelajari dari dunia nyata.

Konflik ini menjadi kritik mendalam terhadap patriarki dan mekanisme kekuasaan yang menyertainya. Film ini menunjukkan bahwa dominasi, bukan kolaborasi, sering kali menjadi pendorong utama dalam meraih status dan otoritas. Pertarungan antar Ken menggambarkan bagaimana sistem patriarki merugikan tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki — menjebak semua orang dalam siklus persaingan dan kekerasan. Lewat dinamika ini, film menantang penonton untuk mempertanyakan norma-norma sosial dan harga yang harus dibayar saat kita tetap menjalani sistem yang dibangun di atas ketimpangan dan penindasan.

Di tengah perubahan ini, film juga menyelami pertanyaan filosofis yang mendalam tentang hubungan antara esensi dan eksistensi — mana yang lebih dulu? Krisis eksistensial yang dialami Barbie dan Ken muncul dari kesadaran mengejutkan bahwa identitas dan tujuan mereka ternyata telah ditentukan sejak awal oleh kekuatan eksternal, terutama oleh kepentingan korporat Mattel. Ketegangan ini mencerminkan dinamika yang lebih luas dalam kehidupan manusia, misalnya sains sering kali berusaha mengotak-kotakkan dan mendefinisikan dunia lewat kerangka-kerangka tertentu, menawarkan cara pandang yang membatasi pemahaman kita terhadap realitas. Di sisi lain, sistem politik juga cenderung memberikan tujuan hidup yang sudah jadi kepada warganya — menetapkan peran dan aspirasi yang sesuai dengan agenda sosial yang lebih besar.

Dalam konteks ini, perjuangan Barbie dan Ken bukan sekadar pemberontakan terhadap esensi yang ditentukan perusahaan, tapi juga kritik terhadap sistem-sistem yang mencoba membatasi pengalaman manusia dalam narasi-narasi yang sudah disiapkan. Perjalanan mereka mengajak penonton untuk mempertanyakan kerangka-kerangka itu dan mempertimbangkan kemungkinan pembebasan — hidup yang otentik, dipilih sendiri, dan melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh makna institusional yang kaku.

 

Kecantikan dalam Etalase: Kapitalisme dan Objektifikasi

Salah satu kritik paling tajam yang melekat dalam warisan Barbie adalah bagaimana ia mendorong objektifikasi tubuh perempuan demi memenuhi standar kecantikan tertentu. Isu ini sangat relevan dan terasa nyata di banyak negara hingga hari ini. Di beberapa wilayah Asia, misalnya, pencarian akan kecantikan sering kali mendorong seseorang untuk menjalani operasi plastik, karena ada keyakinan bahwa penampilan tertentu bisa membuat hidup lebih mudah — baik dalam hal peluang karier maupun penerimaan sosial. Istilah “hyperfake” kini mendominasi citra-citra di media sosial, di mana filter menciptakan ilusi kesempurnaan yang tak bisa dicapai. Film Barbie (2023) mendorong kita untuk meninjau ulang ideal-ideal yang selama ini kita pakai untuk menilai diri sendiri dan orang lain.

Dalam film tersebut, sosok Ruth Handler — diperankan oleh Rhea Perlman — menjadi semacam bayangan yang menghantui Mattel Inc., mewakili kontradiksi yang melekat dalam filosofi Barbie. Saat Barbie bertemu Ruth di tengah krisis eksistensialnya, Ruth menjelaskan bahwa Barbie bisa menjadi apa pun yang ia pilih. Namun, Barbie justru merasa kesulitan menemukan makna dalam keberadaannya, terutama di tengah “penjara” dunia Barbieland yang serba sempurna. Di satu sisi, Kehadiran Barbie untuk memberdayakan anak-anak perempuan agar bebas memilih jalan hidupnya. Tapi di sisi lain, keberadaan Barbie juga tanpa sadar memperkuat standar kecantikan yang menekan.

Tema ini menggemakan narasi dalam film lain, seperti film Indonesia Imperfect: Karir, Cinta, dan Timbangan (2019). Tokoh utamanya, Rara, terlahir dengan tubuh berisi dan terus-menerus mendapat tekanan untuk menjadi langsing dan cantik — baik dari tempat kerja maupun keluarganya. Ketika Rara akhirnya menyerah pada tuntutan sosial dan berusaha keras mengubah dirinya menjadi versi “ideal” dari cantik, ia justru kehilangan hal-hal berharga yang sebelumnya ia miliki — hal-hal yang jauh lebih penting. Pacarnya, yang mencintainya apa adanya, merasa terluka atas perubahan tersebut, dan kehidupan Rara pun mulai kacau. Baru ketika ia belajar menerima diri dan merasa bersyukur (bukan insecure), Rara menemukan kedamaian.

Pesan penting dari film itu adalah, “daripada insecure, lebih baik bersyukur.” Permainan kata antara “kur” dari syukur dan “cure” dari insecure memberikan resonansi yang menarik, sekaligus menekankan pesan yang penting: penyembuhan sejati tidak datang dari menyesuaikan diri dengan standar luar, tetapi dari penerimaan terhadap diri sendiri dan menghargai hal-hal yang benar-benar berarti. Kaitan antara citra tubuh, ekspektasi sosial, dan penerimaan diri ini membentuk paralel yang kuat antara Barbie dan Imperfect — mencerminkan perjuangan global menghadapi standar kecantikan yang dibentuk oleh kapitalisme dan budaya.

 

Merangkul Ketidaksempurnaan: Keindahan Risiko dan Penemuan Diri dalam Hidup

Dalam adegan penutup, Barbie memperkenalkan dirinya sebagai Barbara Handler kepada seorang ginekolog. Di momen ini, ia benar-benar telah menerima sisi kemanusiaannya, lengkap dengan segala ketidaksempurnaan yang melekat dalam hidup manusia. Ia tak lagi didefinisikan oleh standar kecantikan yang ditentukan masyarakat — kini, ia menjadi dirinya yang sejati, apa adanya.

Masalah utama yang diangkat di sini bukan soal konflik antara laki-laki dan perempuan, atau siapa yang lebih unggul dalam hal kekuasaan. Yang lebih penting adalah pertanyaan: mengapa mereka menjalani hidup seperti itu? Saat Barbie menyadari bahwa ia tidak harus menjalani “tujuan hidup” yang ditetapkan oleh Mattel, dan saat Ken memahami bahwa ia harus menemukan makna yang lebih luas dari sekadar eksistensinya sebagai pelengkap Barbie, hidup pun menjadi lebih bermakna.

Memang ada risiko, ketakutan, rapuhnya diri, dan ketidakpastian saat seseorang memilih untuk merangkul ketidaksempurnaan hidup — tapi semua itu layak untuk dijalani. Makna tidak ditemukan dalam kesempurnaan mekanis dari dunia yang berputar dalam rutinitas tanpa akhir, melainkan dalam risiko, dinamika, dan ketidaksempurnaan hidup — tempat di mana perjalanan menemukan jati diri dimulai. Justru pencarian akan keaslian dan penemuan diri, dengan segala tantangan dan ketidakpastiannya, yang memberi kedalaman dan keindahan pada hidup — keindahan dari sebuah ketidaksempurnaan.

 

Refleksi Filosofis

Perjalanan dalam film Barbie (2023) mengalir sebagai perenungan mendalam tentang identitas, ekspektasi sosial, dan kerinduan manusia akan makna hidup. Di balik permukaannya yang cerah dan penuh fantasi, tersimpan kritik terhadap peran-peran yang diberikan kepada kita dan ilusi kesempurnaan yang sejak kecil diajarkan untuk kita kejar. Kebangkitan eksistensial Barbie — yang ditandai lewat pertanyaannya tentang kematian — mengungkap keindahan rapuh dari menerima ketidaksempurnaan. Kesadarannya bahwa makna hidup tidak ditemukan dalam pencapaian ideal yang dipaksakan, melainkan dalam merancang jalannya sendiri, adalah pesan yang bersifat universal — mencerminkan ketegangan antara tuntutan sosial dan keaslian sebagai individu.

Pergulatan Ken yang berjalan paralel memberi lapisan makna tambahan, menunjukkan bahwa sistem patriarki bukan hanya mengekang perempuan, tapi juga mereduksi laki-laki menjadi peran yang dibentuk oleh dominasi dan ketergantungan. Eksplorasi film terhadap kerentanan manusia yang bersifat bersama — risiko, ketidakpastian, dan pencarian makna — mengajak kita untuk meninjau ulang apa yang sebenarnya membuat hidup bermakna. Bukan pada kesempurnaan atau standar yang kaku, tetapi justru pada pencarian diri yang dinamis, tidak sempurna, dan sering kali berantakan, di sanalah kehidupan menemukan keindahan terdalamnya.

Refleksi ini menjadi pengingat yang lembut: menjalani hidup secara otentik berarti menerima ketidakpastian dalam proses menjadi — sebuah perjalanan yang layak dijalani, dengan segala tantangannya.

 

Ketika kita menganalisis film dengan kritis, kita tidak akan melihat film dengan cara yang sama lagi

SJ
Demikian sedikit ulasan tentang Barbie baik budaya dan Filsafatnya. Ke depannya, kita akan membahas film lainnya yang tidak kalah menarik. Melalui PhilosophizeMe, mari kita mengenal filsafat dan membawa kehidupan kita menjadi lebih baik.
 

Sumber:

Bagi yang tertarik dengan artikel ini dalam bahasa Inggris, silahkan akses tulisan di bawah ini:

Barbie and Beyond Perfection: Exploring the Cultural Legacy and Existential Struggles

This article explores Barbie (2023) through themes of identity, societal expectations, and the pursuit of authenticity. From the critique of beauty standards and patriarchal systems to existential reflections on purpose and self-discovery, Barbie’s journey reveals the fragile beauty of imperfection. Through parallel struggles of both Barbie and Ken, the film challenges rigid roles imposed by capitalism and culture, offering a compelling meditation on what it means to live freely and meaningfully.

Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

My Social Media: